Jika pengamanan berarti memberikan kontrol penuh kepada kekuatan asing, maka itu bukan pengamanan, melainkan pengobok-obokan terstruktur
Privasi data adalah bagian dari hak asasi manusia. Dalam era digital, data pribadi bukan sekadar angka dan identitas virtual, melainkan representasi eksistensial seseorang --- siapa dia, bagaimana ia berpikir, apa yang ia konsumsi, siapa yang ia cintai, bahkan ke mana dia pergi dan dengan siapa.Â
Ketika negara menyerahkan kunci data tersebut kepada entitas asing, pertanyaannya bukan lagi soal "efisiensi" atau "tarif murah", tapi soal kedaulatan.
Di tengah isu penurunan tarif dan efisiensi pengelolaan digital, muncul kabar bahwa Indonesia membuka akses data warganya kepada pihak Amerika Serikat melalui perjanjian bilateral yang bertujuan "pengamanan".Â
Namun, sejauh mana ini benar-benar pengamanan, dan bukan justru bentuk penyerahan kendali?
Latar Belakang Perjanjian RI-AS
Perjanjian antara Indonesia dan Amerika Serikat mencakup kerja sama dalam bidang ekonomi digital, termasuk interoperabilitas data, keamanan siber, dan pengembangan infrastruktur digital.Â
Salah satu klausul yang dipersoalkan adalah akses terhadap metadata dan infrastruktur penyimpanan data warga negara, yang menurut dokumen-dokumen bilateral dan laporan intelijen siber, dapat melibatkan pihak swasta dan militer AS.
Di atas kertas, tujuan utama dari kerja sama ini adalah:
*Memperkuat sistem keamanan digital RI melalui infrastruktur AS
*Menurunkan beban pembiayaan teknologi siber