"performative politics" --- di mana konten politik dibuat demi performa dan perhatian, bukan karena niat tulus untuk perubahan.Â
Hal ini membuat batas antara kebebasan berekspresi dan penghinaan menjadi kabur.
Dampaknya? Masyarakat bukan hanya kehilangan arah dalam memahami isu politik, tetapi juga cenderung menjadi apatis atau justru semakin benci tanpa dasar terhadap sosok yang diserang.Â
Kritik harus dilandasi oleh empati sosial dan tanggung jawab moral agar tidak menjadi bumerang terhadap demokrasi itu sendiri.
Kritik yang membangun adalah hak dan kewajiban setiap warga negara. Namun dalam menyampaikan kritik, terlebih dalam ruang digital yang luas jangkauannya, etika harus tetap menjadi fondasi.Â
Tanpa etika, kritik berubah menjadi cercaan, diskusi menjadi perpecahan, dan demokrasi kehilangan maknanya.Â
Maka, penting bagi pengguna media sosial untuk memahami bahwa kebebasan berbicara bukanlah lisensi untuk menghina.
Referensi
*Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society. Beacon Press.
*Papacharissi, Z. (2010). A Private Sphere: Democracy in a Digital Age. Polity Press.
*Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Belknap Press.