Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Penulis Multitalenta, Pengamat Sosial, Pemerhati AI, Pelaku Pasar Modal

Penulis multidisipliner yang aktif menulis di ranah fiksi dan nonfiksi. Fokus tulisan meliputi pendidikan, politik, hukum, artificial intelligence, sastra, pengetahuan populer, dan kuliner. Menulis sebagai kemerdekaan berpikir, medium refleksi, ekspresi ilmiah, dan kontribusi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kebebasan Berekspresi atau Ekspresi yang Keblinger? Ketika Meme Menampar Etika

12 Mei 2025   07:46 Diperbarui: 12 Mei 2025   07:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa etika, kritik berubah menjadi cercaan, diskusi menjadi perpecahan, dan demokrasi kehilangan maknanya

Di era digital saat ini, kritik terhadap pemimpin publik telah menjadi bagian wajar dari dinamika demokrasi. 

Media sosial memberikan ruang luas bagi publik untuk menyuarakan pendapat, namun sayangnya, kebebasan tersebut sering kali disalahgunakan. 

Salah satu contohnya adalah penyebaran meme politik yang menyerang personalitas tokoh negara dengan cara vulgar dan tidak etis. 

Kritik seperti ini tidak hanya menurunkan kualitas diskursus publik, tetapi juga mengaburkan tujuan utama dari kritik itu sendiri: memperbaiki kebijakan.

Kritik politik seharusnya diarahkan pada substansi: kebijakan, tindakan, atau pernyataan publik pejabat negara. 

Namun, dalam budaya digital yang dibanjiri oleh visual dan pencarian sensasi, banyak individu lebih memilih jalur viral dibanding jalur bernalar. 

Meme yang menggambarkan presiden Prabowo Subianto dan presiden ke-7 Joko Widodo sedang berciuman merupakan contoh ekstrem di mana kritik berubah menjadi penghinaan personal.

Menurut Habermas (1984), ruang publik dalam demokrasi modern harus didasarkan pada rasionalitas dan diskursus yang setara. 

Kritik yang menjurus ke penghinaan bukan hanya mencederai nilai-nilai demokratis, tetapi juga berpotensi menimbulkan polarisasi sosial yang lebih tajam.

Lebih jauh, Papacharissi (2010) menyatakan bahwa meskipun media digital membuka partisipasi luas, ia juga mengundang praktik 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun