Tanpa etika, kritik berubah menjadi cercaan, diskusi menjadi perpecahan, dan demokrasi kehilangan maknanya
Di era digital saat ini, kritik terhadap pemimpin publik telah menjadi bagian wajar dari dinamika demokrasi.Â
Media sosial memberikan ruang luas bagi publik untuk menyuarakan pendapat, namun sayangnya, kebebasan tersebut sering kali disalahgunakan.Â
Salah satu contohnya adalah penyebaran meme politik yang menyerang personalitas tokoh negara dengan cara vulgar dan tidak etis.Â
Kritik seperti ini tidak hanya menurunkan kualitas diskursus publik, tetapi juga mengaburkan tujuan utama dari kritik itu sendiri: memperbaiki kebijakan.
Kritik politik seharusnya diarahkan pada substansi: kebijakan, tindakan, atau pernyataan publik pejabat negara.Â
Namun, dalam budaya digital yang dibanjiri oleh visual dan pencarian sensasi, banyak individu lebih memilih jalur viral dibanding jalur bernalar.Â
Meme yang menggambarkan presiden Prabowo Subianto dan presiden ke-7 Joko Widodo sedang berciuman merupakan contoh ekstrem di mana kritik berubah menjadi penghinaan personal.
Menurut Habermas (1984), ruang publik dalam demokrasi modern harus didasarkan pada rasionalitas dan diskursus yang setara.Â
Kritik yang menjurus ke penghinaan bukan hanya mencederai nilai-nilai demokratis, tetapi juga berpotensi menimbulkan polarisasi sosial yang lebih tajam.
Lebih jauh, Papacharissi (2010) menyatakan bahwa meskipun media digital membuka partisipasi luas, ia juga mengundang praktikÂ