Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doyan Pamer? Ternyata Ini 8 Faktor Penyebabnya

20 Maret 2023   12:59 Diperbarui: 20 Maret 2023   13:20 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pamer (pic: wsj.com)

Istilah pamer telah mendarah daging bukan hanya di Indonesia namun dalam sejarah umat manusia di dunia, meskipun dipandang negatif tapi pamer menjadi kebiasaan turun temurun yang sulit dihilangkan

Meskipun bangsa kita telah terkontaminasi budaya barat yang indiidualistik dan materialistis, namun berpegang teguh pada norma-norma sebagai ciri khas luhur bangsa kita tetap dipegang teguh. Sehingga saat mendapati perilaku pamer, apalagi pamer kekayaan, dirasa sangat melanggar pakem budaya timur yang luhur.

Ketika budaya timur telah luntur, maka budaya pamer menjadi sesuatu yang ingin dilakukan dan terus dilakukan. Ketidakmampuan mengendalikan diri akan membuat pamer akan terus ada dari generasi ke generasi.

Pelanggaran norma dalam sikap pamer

Pribadi yang suka pamer selalu dipandang negatif karena dianggap telah menyalahi norma-norma, terutama di negara kita yang masih kuat menjaga dan memelihara aturan. Sehingga orang dengan hobi pamer biasanya dipandang melanggar norma:

Agama

Agama mengajarkan kerendahan hati, menjauhi penyakit hati seperti riya' (berharap pujian orang), Penanaman moral kuat dalam agama agar menjauhi penyakit hati seperti ujub (membanggakan diri sendiri secara berlebihan), takabbur (sombong). Hal inilah yang membuat mereka yang suka pamer dianggap melanggar aturan agama ketetapan Sang Maha Pencipta.

Kesopanan

Bangsa kita sangat menjaga etika. Meskipun saat ini telah mulai luntur, namun masih tetap ada dan terjaga. Bahkan berbuat baik pun sebaiknya tidak dipamer-pamerkan. Menjaga etika dan tingkah laku merupakan hal yang dituntut dalam norma kesopanan. Sehingga ketika ada orang suka pamer, maka akan timbul kerisihan sikap pada masyarakat, dianggap tak sesuai tata etika dan kesopanan serta dicap tidak tahu malu serta tak patut.

Hukum

Secara norma hukum, kebiasaan orang suka pamer memang tidak bisa dipidanakan. Kecuali yang dipamerkan adalah barang-barang hasil kejahatan atau  menunjukkan perilaku melanggar hukum. Tanpa adanya bukti-bukti otentik maka kebiasaan pamer seseorang  tidak bisa dituntut secara hukum. Namun apabila sikap pamernya dianggap telah mengganggu ketentraman masyarakat, maka barulah hukum bertindak.

Kesusilaan

Norma ini tidak bisa diungkapkan secara gamblang, sebab berkaitan dengan hati nurani, yang tentu saja kasat mata. Mungkin pelakunya terlihat menjaga norma agama, norma kesopanan, tidak melanggar norma hukum, namun ketika melakukan sikap pamer, apabila hati nuraninya masih terketuk maka akan merasa malu serta salah tingkah saat melakukannya. Namun ketika hati nuraninya tumpul,maka pamer telah menjadi hal biasa yang dilakukan dan tidak terasa mengganggunya lagi.

Mayoritas masyarakat yang masih memiliki ketajaman hati nurani tentu saja akan menilai pamer sebagai hal risih dan mengganggu. Sehingga perilaku pamer dirasa sangat menganggu ketentraman dan kenyamanan hidup orang banyak.

Faktor Penyebab sikap pamer

Mengapa pamer bisa terjadi, biasanya hal ini diakibatkan oleh:

  1. Kurang percaya diri

Seseorang yang kurang memiliki kepercayaan diri akan cenderung bersikap pamer, sebab dengan sikap pamer baginya akan meningkatkan harga dirinya menjadi lebih tinggi.

Ketika orang terrsebut melakukan "pamer ria" maka harapannya adalah agar publik bisa menunjukkan reaksi terkejut, kagum dan memujinya. Tapi apabila ketika tindakan pamer telah dilakukan, namun reaksi khalayak biasa saja, alih-alih kaget, mereka justru mencaci maki dan mencurigai, maka si tukang pamer akan menjadi down dan makin krisis kepercayaan diri.

  1. Keinginan diakui

Saat seseorang melakukan pamer biasanya karena ingin dipuji dan diakui. Kuatnya keinginan tersebut mendesaknya melakukan pamer. Ketika akhirnya pamer terjadi, pujian muncul, akan muncul kepuasan tersendiri yang didapatkan. Namun jika tidak ada pujian, maka sakit hati mulai tercipta.

Berbeda dengan mereka yang menunjukkan sesuatu tanpa ingin pamer, maka ketika tak ada reaksi pujian yang didapat, tidak akan kecewa dan sakit hati.

  1. Kebanggaan berlebih pada diri sendiri

Akibat kebanggaan yang berlebihan terhadap diri sendiri, membuat sikap pamer dianggap biasa saja. Ada bisikan "Gue gitu loh" dari dalam hatinya sehingga pamer menjadi lagu kebangsaan, tanpa berpikir panjang bahwa boleh jadi ada yang iri dan mencurigai.

  1. Lunturnya rasa malu

Salah satu penyebab adanya sikap pamer adalah lunturnya rasa malu. Berbuat tanpa berpikir, yang penting hati senang, puas, dapat pujan. Sehingga tidak mengherankan bila media sosial saat ini dibanjiri dengan video-video mereka yang tujuan utamanya hanya ingin dipuji, dipuj dan dipuji.

Ketika keinginan dipuji menggebu-gebu, rasa malu telah luntur. Saat melihat orang lain dipuji, maka ada keinginan sepert itu, akibatnya melakuakn hal yang sama tanpa peduli benar atau salah, yang penting terkenal. Mulai lunturnya budaya malu, yang penting terkenal meskipun melanggar norma-norma merupakan fenomena yang sekarang banyak terjadi.

  1. Rasa iri

Iri melihat orang lain banyak mendapat pujian, kemudian viral, sehingga menginginkan hal serupa tanpa peduli menerabas norma dan etika, sehingga akibatnya muncullah jiwa-jiwa pamer yang merajalela. 

Ketika hanya rasa iri yang dirasakan, mungkin tindakan yang dilakukan hanya meniru, loau berbuat serupa demi pujian yang ingin didapatkan. Namun ketika rasa iri berubah menjadi dengki, ketika ia tidak dapat melakukan hal serupa, maka dia akan menyebarkan berita hoaks dan fitnah demi memperoleh kepuasan menjerumuskan orang lain. Saat hal tersebut terjadi pada sema orang di negara ini, maka hancur leburlah tatanan negara ini, larut dalam iri dengki sesama bangsa.

  1. Lupa mati

Jika mengingat firman Tuhan, bahwa bermegah-megahan telah melalaikan manusia masuk ke dalam kubur. Ya lupa mati membuat keinginan pamer menguat. Meskipun Tuhan telah menyebutkan agar mnausia tidak melupakan dunianya, tapi bukan berarti untuk membangga-banggakan diri secara berlebihan, yang berujung pamer.

Keyakinan yang kuat pada Tuhan dan kepercayaan tinggi pada firman-Nya akan menyadarkan setiap orang bahwa mereka tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya, karena saat lahir tak membawa apa-apa. Dengan kesadaran dari nurani seperti ini, maka tidak akan ada keinginan untuk pamer.

  1. Masa lalu yang tak mampu

Terjadinya sikap pamer, terutama pamer kekayaan, akibat masa lalu yang tak mampu meraih hal tersebut. Sehingga ketika akhirnya tiba waktu berhasil meraih hal yang diinginkan, yang dahulunya hanya dalam mimpi, berujung  euforia berlebihan.

  1. Pola asuh langka pujian 

Mayoritas mereka yang suka pamer, biasanya dilatarbelakangi pola asuh masa kecil yang kering pujian. Orangtua yang terbiasa mencari-cari kesalahan anak, lalu mengkritiknya habis-habisan, akan melahirkan anak-anak yang di masa dewasanya menuntut pengakuan sehingga haus pujian. Akibatnya, sikap pamer menjadi pelariannya dalam mencari kepuasan batin atas sebuah pengakuan yang tidak didapatkan sewaktu kecil.

Orangtua dengan sikap yang diktator dan selalu mengkritik anak secara berlebihan akan melahirkan anak anak masa depan yang hobi pamer, karena krisis kepercayaan diri dan kehausan pujian di hatinya.

Di satu sisi sikap pamer memang bukan hal yang elok, namun di sisi lain, kita tidak bisa serta merta menyalahkan, menghakimi terhadap pribadi doyan pamer, sebab ada beragam penyebab perilaku buruknya tersebut. Namun setidaknya, kita bisa bersikap bijaksana, karena ternyata mereka yang suka pamer, ternyata adalah orang orang yang patut dikasihani akibat kemarau batin di masa kecilnya.

Anak-anak yang terlahir dengan pola asuh orangtua demokratis dan menghargai anak, akan melahirkan generasi yang tidak haus pujian, sehingga tidak akan suka pamer.

Jadi, ketika menjumpai orang suka pamer, maka jangan buru-buru menyalahkan, memandang sisnis dan menghakiminya. Justru anda akan menjadi sangat memahami dan mengasihaninya, karena mungkin pola asuh salah kaprah di masa kecilnya.

Lalu bagaimana penyelesaiannya, apakah dengan melarang orang pamer? Tentu saja tidak bisa, sebab tak semua berhati murni tanpa masalah, dan tak semua orang memiliki pola asuh masa kecil yang manis tanpa kegersangan batin. 

And so, daripada hanya mengeritik dan menghakimi orang lain, bukankah lebih baik koreksi diri sendiri, pernahkah kita melakukan hal serupa, ataukah pernah terbersit sedikit keinginan pamer terhadap orang lain. 

Ketika tiap pribadi telah memiliki kebersihan hati serta pola asuh penuh ketenangan batin di masa lalu, maka tidak akan ada lagi keinginan untuk pamer atau pun membangga-banggakan diri di kala telah berhasil kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun