Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doyan Pamer? Ternyata Ini 8 Faktor Penyebabnya

20 Maret 2023   12:59 Diperbarui: 20 Maret 2023   13:20 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pamer (pic: wsj.com)

Ketika keinginan dipuji menggebu-gebu, rasa malu telah luntur. Saat melihat orang lain dipuji, maka ada keinginan sepert itu, akibatnya melakuakn hal yang sama tanpa peduli benar atau salah, yang penting terkenal. Mulai lunturnya budaya malu, yang penting terkenal meskipun melanggar norma-norma merupakan fenomena yang sekarang banyak terjadi.

  1. Rasa iri

Iri melihat orang lain banyak mendapat pujian, kemudian viral, sehingga menginginkan hal serupa tanpa peduli menerabas norma dan etika, sehingga akibatnya muncullah jiwa-jiwa pamer yang merajalela. 

Ketika hanya rasa iri yang dirasakan, mungkin tindakan yang dilakukan hanya meniru, loau berbuat serupa demi pujian yang ingin didapatkan. Namun ketika rasa iri berubah menjadi dengki, ketika ia tidak dapat melakukan hal serupa, maka dia akan menyebarkan berita hoaks dan fitnah demi memperoleh kepuasan menjerumuskan orang lain. Saat hal tersebut terjadi pada sema orang di negara ini, maka hancur leburlah tatanan negara ini, larut dalam iri dengki sesama bangsa.

  1. Lupa mati

Jika mengingat firman Tuhan, bahwa bermegah-megahan telah melalaikan manusia masuk ke dalam kubur. Ya lupa mati membuat keinginan pamer menguat. Meskipun Tuhan telah menyebutkan agar mnausia tidak melupakan dunianya, tapi bukan berarti untuk membangga-banggakan diri secara berlebihan, yang berujung pamer.

Keyakinan yang kuat pada Tuhan dan kepercayaan tinggi pada firman-Nya akan menyadarkan setiap orang bahwa mereka tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya, karena saat lahir tak membawa apa-apa. Dengan kesadaran dari nurani seperti ini, maka tidak akan ada keinginan untuk pamer.

  1. Masa lalu yang tak mampu

Terjadinya sikap pamer, terutama pamer kekayaan, akibat masa lalu yang tak mampu meraih hal tersebut. Sehingga ketika akhirnya tiba waktu berhasil meraih hal yang diinginkan, yang dahulunya hanya dalam mimpi, berujung  euforia berlebihan.

  1. Pola asuh langka pujian 

Mayoritas mereka yang suka pamer, biasanya dilatarbelakangi pola asuh masa kecil yang kering pujian. Orangtua yang terbiasa mencari-cari kesalahan anak, lalu mengkritiknya habis-habisan, akan melahirkan anak-anak yang di masa dewasanya menuntut pengakuan sehingga haus pujian. Akibatnya, sikap pamer menjadi pelariannya dalam mencari kepuasan batin atas sebuah pengakuan yang tidak didapatkan sewaktu kecil.

Orangtua dengan sikap yang diktator dan selalu mengkritik anak secara berlebihan akan melahirkan anak anak masa depan yang hobi pamer, karena krisis kepercayaan diri dan kehausan pujian di hatinya.

Di satu sisi sikap pamer memang bukan hal yang elok, namun di sisi lain, kita tidak bisa serta merta menyalahkan, menghakimi terhadap pribadi doyan pamer, sebab ada beragam penyebab perilaku buruknya tersebut. Namun setidaknya, kita bisa bersikap bijaksana, karena ternyata mereka yang suka pamer, ternyata adalah orang orang yang patut dikasihani akibat kemarau batin di masa kecilnya.

Anak-anak yang terlahir dengan pola asuh orangtua demokratis dan menghargai anak, akan melahirkan generasi yang tidak haus pujian, sehingga tidak akan suka pamer.

Jadi, ketika menjumpai orang suka pamer, maka jangan buru-buru menyalahkan, memandang sisnis dan menghakiminya. Justru anda akan menjadi sangat memahami dan mengasihaninya, karena mungkin pola asuh salah kaprah di masa kecilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun