Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pro Kontra Dansa, Anda yang Mana?

24 Januari 2023   08:39 Diperbarui: 24 Januari 2023   08:49 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dansa (pic: indosport.com)

Dahulu, rokok adalah sesuatu yang dianggap negatif, bahkan hingga saat ini pun hal itu tetap berlaku. Namun ternyata nilai ekonominya tinggi, sehingga mendesak hal negatif menjadi kemudian diperlukan. Misal saat negara memperoleh pemasukan uang dari perolehan cukainya. Ataupun ajang pertandingan yang memerlukan sponsor. Bahkan beasiswa dengan sasaran generasi muda, yang sudah selayaknya dijauhkan dari rokok toh akhirnya pun dibiayai oleh perusahaan rokok.

Contoh lain adalah ajang Miss Universe. Di masa silam dianggap kurang patut, sebab hanya menilai kecantikan dari kemolekan bentuk tubuh dan wajahnya. Namun seiiring perubahan zaman, hal itu kemudian dianggap wajar dan dimaklumi. Sehingga lama kelamaan Indonesia pun tak segan lagi mengikutinya, bahkan bukan hanya Miss Universe, bahkan kontes miss-miss lainnya.

Zaman seperti sekarang, melawan segala sesuatu yang telah dianggap standar adalah hal yang dimaklumi. Melawan adalah sebuah tradisi yang dianggap lumrah, meskipun terkadang melanggar pakem dan norma-norma. Hal itu terjadi karena sesuatu yang sesuai biasanya belum dianggap benar-benar sesuai, dianggap dianggap sebagai sebuah keangkuhan, kesewenang wenangan, sehingga ketika ada celah untuk meruntuhkan, maka diambillah kesempatan tersebut.

Perlawananan yang pada mulanya merupakan sebuah sistem pendongkrakan terhadap tradisi kolot yang dipaksakan, namun akhirnya menabrak pakem lalu kemudian melebur menjadi hal yang dianggap lumrah. Sehingga justru hal yang sudah selayaknya dan sepatutnya dijaga kepatutannya, malah justru didongkrak-dongkrak untuk dirobohkan karena dianggap ketinggalan zaman dan tidak memiliki nilai ekonomis.

Kembali menyikapi tentang dansa, berarti kembali lagi pada sikap mereka yang pro dan kontra, juga kembali pada niatan masing masing yang ada. Sebab saat ini sepertinya kita telah memasuki abad keselamatan ada di tanganmu sendiri. Bagi yang merasa bahwa dansa sebagai sport dan kesehatan semata, ya tentunya juga telah siap dengan pilihannya. Sedangkan yang berpandangan bahwa dansa sebagai sebuah hal yang melanggar norma-norma, maka hal tersebut merupakan haknya untuk memiliki pilihan tersebut, bukankah keselamatan masa datang setiap orang ada di tangan masing-masing individu?. 

Diperlukan kedewasaan dalam berpikir. Ketika satu pihak menganggap dansa sebagai pilihannya, pastinya dia telah siap dengan konsekuensi pilihannya. Bagi mereka yang kontra, tentunya juga memiliki pilihan sendiri dengan sisi pemikiran yang harus kita hargai. Boleh jadi orang tersebut bukan hanya berpikir tentang akibat di masa depan di dunia, namun juga pertanggungjawaban kelak pada Tuhan. 

Jika memang demikian, karena kita semua adalah pribadi dewasa dengan pemikiran bijak, yang tentu saja telah memiliki konsekuensi, tujuan, sebab dan akibat dari sebuah pilihan. Tentu saja kita akan menghormati sikap dan pilihan orang lain.

Demikian juga bagi yang kontra, tentu saja memiliki pola pikir sendiri yang harus dihargai. Jika telah demikian mengapa harus saling menghujat dan menganggap bodoh saudara sesama bangsa karena dansa, bukankah sama-sama sebagai bekas bangsa yang terjajah? Haruskah kita bertengkar sementara si pemilik budayanya tertawa lebar menonton suksesnya "devide et impera"? Siapa sesungguhnya yang lebih bodoh diantara yang bodoh?

"Kowe arep dansa yo dansao, aku ora gelem dansa yo ojo dipekso" (kamu ingin dansa ya silahkan dansa, aku tak mau dansa ya jangan dipaksa) merupakan konsekuensi toleransi dan saling menghargai perbedaan. Jangan sampai kecintaan luar biasa terhadap produk barat membuat produk dalam negeri terabaikan, dimana semangat bela negara kita? 

Atau.... jangan-jangan akibat tari piring, tari kecak, tari merak dianggap jadul dan tidak bisa viral di kancah internasional membuat dansa menjadi sebuah kegemaran baru yang disukai? Oooh malangnya budaya negaraku yang tercinta.

Janganlah egoisme dan primordialime menjadi toxic diantara kita., terbelah antara cinta budaya bule dan cinta nusantara. Sebuah pesan komersil menarik di layar kaca tampaknya layak kita renungkan "cintailah ploduk ploduk dalam negeli". Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun