Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Pegawai Pecatan KPK, Kini Giliran Korban Peleburan BRIN Mengadu ke Komnas HAM

8 Januari 2022   18:10 Diperbarui: 8 Januari 2022   18:12 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eks pegawai BPPT mengadu ke Komnas HAM (pic: detik.com)

Santer terdengar berita kebingungannya para ilmuwan mencari tempat perlindungan yang mampu memberi kejelasan nasib dan masa depan setelah lembaga penelitiannya melebur ke BRIN, tak beda jauh dengan para penyidik dan pegawai pecatan KPK yang mengadukan nasibnya ke Komnas HAM saat kisruh TWK

Bermula dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) Pasal 121 yang mengatur pembentukan BRIN dengan tujuan menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Dari sinilah bergulir kebijakan peleburan puluhan lembaga ke dalam BRIN.

Peleburan yang terjadi diprediksi oleh banyak pihak akan mendatangkan beragam permasalahan. Sebab publik tidak akan lupa bagaimana kisruhnya peralihan pegawai dan penyidik komisi pemberantasan korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN). 

Setali tiga uang dengan KPK, pengintegrasian puluhan lembaga ke BRIN juga diikuti pengalihan pegawai negeri sipil, perlengkapan, pembiayaan, dan aset lembaga riset. Selain dikoordinasi oleh Menpan RB juga melibatkan unsur Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan lembaga terkait lainnya.

Tekhnisi tsunami diberhentikan mendadak

Peleburan dengan imbas permasalahan yang diprediksi masyarakat mulai terlihat, seperti yang baru-baru ini terjadi, saat 40 teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang baru datang bersama Kapal Riset (KR) Baruna Jaya dari melakukan pemetaan sekaligus pemasangan alat-alat deteksi dini tsunami, tiba-tiba mendapat perintah lesan dari perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengosongkan kapal. Sedemikian mendadak, tanpa pertemuan resmi atau pun pengumpulan semua ilmuwan dan awak kapal.

Tekhnisi proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System -- Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia) KR Baruna Jaya berangkat sejak satu bulan lalu, mengelilingi Selat Sunda, Samudra Hindia, Malang, Denpasar, bahkan Sumba saat terjadi gempa 7,5 skala Richter. 

Proyek yang merupakan hasil pengembangan BPPT bekerja mendeteksi tsunami dengan  menggunakan sensor di dasar laut untuk melihat perbedaan-perbedaan tekanan air. Data dari sensor secara aktif dikirim ke buoy (pelampung) di permukaan laut melalui underwater acoustic modem, yang kemudian mentransmisikannya ke InaTOC (Indonesia Tsunami Observation Center -- Pusat Pemantauan Tsunami Indonesia) di Jakarta. Sebuah proyek yang sangat penting dalam mempercepat informasi peringatan dini potensi tsunami.

Bahkan kabarnya, nakhoda KR Baruna Jaya yang sudah 19 tahun mengabdi, Kapten Ishak Ismail, pada 2015 pernah dianugerahi Jokowi Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya karena berhasil melakukan pencarian lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di perairan Selat Karimata Laut Jawa. Namun tampaknya nakhoda tersebut akan kehilangan mata pencahariannya karena ia hanya Pegawai Pemerintah non-Pegawai Negeri (PPNPN) BPPT yang tidak termasuk dalam opsi yang ditentukan BRIN.

Jika tiba-tiba seluruh ilmuwan dan awak kapal harus diberhentikan begitu saja, lalu bagaimana nasib proyek ini selanjutnya? Yakinkah akan ditangani oleh mereka yang sudah berpengalaman seperti ilmuwan dan tekhnisi sebelumnya?

Permasalahan yang bisa ditebak tidak berbeda jauh dengan yang dialami oleh pegawai dan penyidik KPK akibat tes wawasan kebangsaan (TWK) beberapa waktu lalu, nasib yang tidak jelas, hingga berujung pada pemberhentian. Bahkan yang paling mengerikan menimpa Tekhnisi proyek InaTEWS, pemberhentian tanpa pertemuan resmi, tanpa bukti hitam di atas putih, hanya berupa kata lesan yang terucapkan.

Spekulasi politik dibalik peleburan?

Beralih pada kisruhnya permasalahan Penyidik dan Pegawai KPK yang beralih menjadi aparatur sipil negara (ASN), kata-kata peralihan ternyata hanya sebuah kiasan tak berarti, sebab toh pegawai yang tak lolos tes TWK, yang kabarnya hanya sebagai persyaratan peralihan toh ujung-ujungnya dipecat. Meskipun kemudian Polri siap mengambil alih dengan menampung pegawai dan penyidik KPK pecatan, namun munculnya polemik yang berlarut-larut sangat melukai nurani masyarakat pecinta keadilan.

Setelah permasalahan Penyidik dan Pegawai pecatan KPK telah usai, kini muncul permasalahan baru dengan kabar mengejutkan meleburnya puluhan lembaga ke BRIN. Trauma publik terhadap kasus TWK KPK menciptakan bayangan keraguan, mungkinkah BRIN mampu mengatasi nasib para pegawai dan peneliti dari beragam lembaga itu, sebab ratusan ilmuwan akan kehilangan pekerjaan karena terhalang status non-PNS.

Kini, di saat masyarakat sedang dalam tahap penantian, yang terdengar santer justru berita kebingungannya para ilmuwan mencari tempat perlindungan yang mampu memberi kejelasan nasib dan masa depan. Sama persis seperti para penyidik dan pegawai pecatan KPK yang mengadukan nasibnya ke Komnas HAM, demikian juga yang terjadi dengan perwakilan Paguyuban PPNPN BPPT beberapa waktu berselang.

Permasalahan meleburnya puluhan lembaga ke dalam BRIN bukan tanpa alasan, sebab sejak Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN, yang mengatur dan merinci berbagai aspek soal BRIN, termasuk peleburan berbagai lembaga riset sebagai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) alias Omnibus Law, dengan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah, telah menimbulkan spekulasi adanya intrik politik di dalamnya.

BRIN sebagai badan tunggal yang menaungi seluruh kegiatan penelitian di Tanah Air, bukan koordinator lembaga-lembaga penelitian, yang menjadi alasan mengapa seluruh lembaga-lembaga penelitian dipaksa melebur ke BRIN secara struktural.

Perpres 78/2021 mulai dijalankan pemerintah di akhir tahun 2021, diantaranya adalah meleburkan LBM Eijkman menjadi unit di bawah BRIN, dengan nama Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman. Sehingga Tim Waspada Covid-19 (Wascove) bentukan Eijkman pun diambil alih Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.

Pengesahan BRIN, diangkatnya Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah, hingga kemudian dilanjutkan dengan meleburnya puluhan lembaga keilmuan dan penelitian tentu saja memunculkan berbagai spekulasi politik. 

Tercatat 39 lembaga penelitian yang dipaksa melebur ke BRIN, di antaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan BPPT sendiri.

Bukan masalah besar apabila peleburan ini tidak mendatangkan persoalan, namun jika awalnya saja sudah menimbulkan gesekan dan tanda tanya, maka bisa ditebak trauma publik akan menggiring masyarakat kian antipati dan meragukan semua langkah pemerintah dalam mengelola negara, terutama lembaga keilmuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun