3. UMR-nya yang rendah
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bagi warga Jogja bahwa kota ini terkenal memiliki tingkat UMR yang cukup rendah. Bayangkan saja, untuk kota yang tergolong besar dan cukup maju di Indonesia, UMR yang ada di kota ini tergolong sangat sedikit yaitu paling tinggi hanya sebesar 2.070.000.
Ya memang sih, uang segitu masih tergolong cukup jika hanya untuk hidup sendiri serba hemat, hidup di kos sederhana, makan sekelas warteg tiap hari, bensin, paket data, itu semua masih cukup tapi dengan catatan kamu gak kemana-mana selain kerja. Tapi apa iya sih, kerja bener bener cuma untuk nyukupin kebutuhan diri sendiri aja? Gimana kalo tiba tiba sakit? Gimana kalo mau nafkahin anak orang? Realistis aja, menurut saya UMR segitu adalah angka yang gak masuk akal. Mungkin, ini juga merupakan salah satu penyebab mengapa DIY masuk dalam salah satu wilayah dengan angka kemiskinan yang tinggi, melebihi angka rata-rata angka kemiskinan di tingkat nasional.
4. Harga tanah dan bangunan yang melambung tinggi
Faktor selanjutnya yang menjadi keluhan banyak orang Jogja adalah harga tanah dan bangunanya yang tidak masuk akal. Bayangkan saja, harga perumahan di depan rumah saya yang letaknya di pinggir ringroad saja harganya sudah sekitar 700jt-an dengan luas tanah 125 meter persegi. Padahal daerah rumah saya jelas bukan pusat kota, lalu bagaimana dengan rumah yang berada di daerah pusat kota? Ya pasti harganya sangat jauh lebih tinggi.
Dengan harga properti yang gak masuk akal, yakin deh, kalau hanya dengan gaji yang cuma dua kali UMR, KPR yang bisa diandelin itu cuma bisa untuk rumah di daerah Kulon Progo, Sedayu, Berbah, dan Piyungan. Itu pun pastinya dengan nilai angsuran yang bisa lebih dari 40 persen gaji. Nah maka dari itu, kalo cuma gaji UMR, rasa rasanya sulit kalo mau beli rumah kalo cuma ngandelin gaji sendiri, tapi bakal beda cerita lagi lho ya kalo kamu dapat subsidi dari orang tua. Â Â