"Kebijakan pemerintah masih tambal sulam. Sumber utama polusi udara Jakarta adalah kombinasi dari kendaraan bermotor, industri berbasis fosil, dan minimnya ruang hijau. Kalau tidak ada keberanian untuk membatasi industri batu bara atau mengatur ulang pembangunan kota, ini hanya akan jadi solusi sementara," ujar Rina.
BMKG dan Pakar Kesehatan Beri Peringatan
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa cuaca kering dan minim hujan turut memperparah konsentrasi polusi di udara. Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini BMKG, Miming Saepudin, menyatakan bahwa musim kemarau tahun ini cukup ekstrem.
"Kondisi atmosfer stagnan menyebabkan polutan tertahan di permukaan. Tanpa hujan dan angin yang cukup, udara kotor ini akan menetap lebih lama di Jakarta," jelasnya.
Ahli kesehatan paru dari RSUP Persahabatan, dr. Vicky Sembiring, Sp.P, menyarankan warga untuk tidak menganggap enteng dampak polusi udara. Menurutnya, paparan partikel PM2.5 dalam jangka panjang dapat memicu asma, bronkitis, bahkan menurunkan fungsi paru-paru secara permanen.
"Terutama untuk anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan paru. Kita harus protektif. Gunakan masker N95 saat keluar rumah dan, jika memungkinkan, gunakan alat pembersih udara (air purifier) di dalam rumah," sarannya.
Sekolah Pertimbangkan Pembelajaran Daring
Beberapa sekolah di wilayah Jakarta Timur dan Utara juga mulai mempertimbangkan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) apabila kondisi udara tidak menunjukkan perbaikan dalam waktu dekat. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Gunas Mahdi, menyebut bahwa pihaknya sedang menyiapkan skema rotasi belajar online-offline untuk mengurangi risiko paparan polusi pada peserta didik.
"Kita tidak ingin anak-anak terpapar udara buruk setiap hari hanya karena harus datang ke sekolah. Kami siapkan opsi jika situasinya memburuk," kata Gunas.
Harapan akan Komitmen Jangka Panjang
Krisis polusi udara Jakarta bukanlah masalah baru, namun situasi tahun ini menunjukkan urgensi yang semakin tinggi untuk ditangani secara struktural. Para ahli menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus melibatkan perencanaan tata kota yang lebih berorientasi lingkungan, pembatasan kendaraan pribadi, serta transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi bersih.