Mohon tunggu...
Ahmad Faiz Abidin
Ahmad Faiz Abidin Mohon Tunggu... uin maliki malang

Mahasiswa UIN maliki malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Membangun Pengembang yang Reflektif : Masa Depan Pendidikan Rekayasa Perangkat Lunak

9 Juni 2025   00:22 Diperbarui: 9 Juni 2025   00:40 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Freepik.com

Salah satu temuan paling penting dari artikel ini adalah bahwa refleksi tidak hanya membentuk pemahaman teknis, tetapi juga memperkuat soft skills yang sering kali diabaikan dalam kurikulum teknik. Komunikasi, kepemimpinan, kerja tim, kemampuan adaptasi, dan manajemen konflik adalah kompetensi yang terbentuk melalui praktik reflektif dalam studio.

Lebih lanjut, Dors dan timnya mengaitkan refleksi dengan apa yang disebut Schn sebagai artistic talent kecakapan profesional yang muncul dalam situasi kompleks dan ambigu, di mana tidak ada jawaban pasti. Dunia nyata penuh dengan ambiguitas seperti itu. Klien tidak selalu tahu apa yang mereka inginkan. Kebutuhan pengguna bisa berubah cepat. Bug bisa muncul dari interaksi tak terduga antara komponen.

Dalam konteks ini, pengembang yang reflektif memiliki keunggulan kompetitif. Mereka tidak hanya mengikuti prosedur, tetapi mampu menyusun pendekatan baru, mengevaluasi ulang keputusan masa lalu, dan beradaptasi secara cerdas terhadap perubahan kondisi.

Panggilan untuk Reformasi Kurikulum RPL

Sayangnya, sebagian besar program pendidikan RPL di Indonesia maupun di banyak negara lainnya masih terlalu fokus pada aspek kognitif formal dan penguasaan alat. Praktikum dianggap cukup jika mahasiswa bisa menyelesaikan tugas, tanpa evaluasi mendalam terhadap proses berpikir di balik keputusan mereka. Refleksi sering kali dianggap buang waktu, atau lebih buruk: tidak relevan.

Hasil studi Dors ini harus menjadi pemicu reformasi. Kita harus berani mengintegrasikan komponen reflektif dalam setiap proyek mahasiswa. Kegiatan seperti peer critique, dokumentasi keputusan desain, jurnal refleksi, dan review tim bukanlah pelengkap, melainkan inti dari pembelajaran berbasis praktik.

Dosen tidak hanya harus menjadi pengajar, tetapi juga coach dan fasilitator refleksi. Mahasiswa harus dilatih bukan hanya untuk menulis kode yang benar, tetapi juga menjawab: "Mengapa kamu memilih pendekatan itu?", "Apa yang kamu pelajari dari kegagalan ini?", dan "Apa yang akan kamu lakukan berbeda jika mengulang proyek ini?"

Penutup: Pengembang Hebat Tidak Lahir dari Kode Saja

Dalam artikel ini, refleksi ditunjukkan bukan sebagai aktivitas tambahan, melainkan sebagai jantung dari proses pembelajaran yang sesungguhnya. Studio bukan hanya tempat belajar membuat aplikasi, tapi tempat belajar menjadi pengembang sejati mereka yang tahu bagaimana belajar dari setiap baris kode, setiap kritik, dan setiap kegagalan.

Dors, T. M., Van Amstel, F. M. C., Binder, F., Reinehr, S., & Malucelli, A. (2020). Reflective practice in software development studios: Findings from an ethnographic study. 2020 IEEE 33rd Conference on Software Engineering Education and Training (CSEE&T), 1–10. https://doi.org/10.1109/CSEET49119.2020.00011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun