Mohon tunggu...
Faisal Haitsam
Faisal Haitsam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berpayah-payah menulis diatas batu, daripada musykil menggores diatas air.

Buku dan Kopi itu Jodoh. Sekaligus Candu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Mubazir di Tengah Ancaman Krisis Pangan

20 Oktober 2022   19:09 Diperbarui: 23 Oktober 2022   07:30 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara 2,1 juta per tahun. Angka pemborosan triliunan itu bahkan bisa memberi makan seluruh penduduk republik ini. 

Contoh kasus di Jakarta barat, jumlah sampah makanan mencapai lima ratus ton setiap tahun. Jika persentase sampah makanan kita asumsikan sama di wilayah Jakarta lainnya, maka ada 2,1 juta ton sampah makanan di ibu kota.

Budaya mubazir ini sudah level gawat, perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Tak cukup hanya imbauan atau sebatas kampanye klise mengajak masyarakat makan tanpa sisa. 

Dibutuhkan regulasi yang mengatur ini secara undang-undang. Kita perlu mencontoh Tiongkok soal aturan sampah makanan. Di China, undang-undang pencegahan pemborosan makan mewajibkan restoran dan penyedia katering untuk mengingatkan para konsumennya agar memesan makanan sesuai kebutuhan. Bagi yang melanggar, harus siap berhadapan dengan sanksi berat.

Di tengah problem sampah makanan yang kita hadapi, kini ancaman krisis global siap menerkam. Hampir semua ekonom memperkirakan resesi global akan terjadi tahun depan. 

Salah satu anak turunan resesi ini adalah kelangkaan pangan, bisa disebabkan semakin memanasnya geopolitik dan ancaman perubahan iklim. Semua negara pasti memasang "kuda-kuda" mencukupi kebutuhan makan warganya. Kebijakan pangan setiap negara akan sangat ketat. Kita tak bisa lagi berharap banyak dengan solusi impor.

Bahkan pemerintah menyiapkan anggaran 97 Triliun atasi krisis pangan tahun 2023. Angka yang cukup besar, padahal Indonesia adalah negara agraris. Itu artinya, ketahanan pangan kita masih rapuh. 

Alih-alih terus menggenjot pembukaan lahan untuk pertanian, sedangkan produktivitas panen tak menentu, lebih bijak jika kita mulai dari hal-hal sederhana, makan sesuai porsi untuk meminimalisasi sampah makanan.

Menghindari pemborosan makanan tidak serta merta akan menyelesaikan problem pangan. Akar masalahnya terlalu kompleks. Namun minimal kita punya empati terhadap orang-orang yang kekurangan. Hati kita terenyuh, miris melihat gunungan sisa makanan, sementara banyak orang yang tiap hari mengais-ngais remah makanan untuk bertahan hidup.

Jika pemborosan makanan tidak bisa kita atasi, bukan tidak mungkin menjadi bumerang di masa depan. Melihat tabiat pemangku kebijakan yang masih gagap mengurusi pangan, namun lebih familiar dengan budaya impor. Bukan mustahil tahun depan kita tidak hanya ribut soal minyak goreng tapi juga babak belur karena kelangkaan sembako lainnya.

Mungkin sebagian dari kita ada yang rindu, suatu masa di mana menyisakan makanan adalah hal tabu bagi masyarakat. Kita masih memegang erat petuah-petuah agama dan nasihat-nasihat bijak orangtua dalam memperlakukan makanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun