E-Government Indonesia: Canggih di Permukaan, Berantakan di Dalam?
Setiap kali mendengar kata "digitalisasi pemerintahan", saya selalu ingin bertanya satu hal sederhana: “Digitalisasinya serius atau cuma tempelan proyek?” Pemerintah Indonesia sudah lama menggembar-gemborkan semangat e-Government—mulai dari sistem pelayanan online, aplikasi pengaduan masyarakat, hingga dashboard anggaran yang katanya transparan. Tapi, realitanya? Sering kali lebih mirip seni instalasi digital daripada sistem teknologi yang terkelola dengan baik.
Sebuah paper ilmiah berjudul “Information Technology Governance Framework to Support E-Government Implementation (Case Study: Indonesia)” mencoba mengulas hal ini dari sisi yang lebih akademis. Tapi justru dari paper itu pula muncul sederet pertanyaan baru yang lebih mengusik: apakah pemerintah Indonesia benar-benar paham pentingnya tata kelola teknologi informasi (IT Governance), atau hanya sibuk mengadakan proyek demi proyek demi terlihat “maju” di mata publik?
E-Government Tanpa Arah: Proyek Gagal yang Diperpanjang?
Mari kita mulai dengan kenyataan pahit: banyak sistem e-Government di Indonesia berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi, dan bahkan tidak digunakan oleh instansi yang membangunnya. Apa gunanya mengembangkan aplikasi pelayanan publik kalau akhirnya masyarakat tetap harus datang ke kantor kelurahan dengan berkas fisik?
Paper tersebut menyoroti bahwa kurangnya tata kelola TI menjadi akar masalahnya. Kalau dianalogikan, e-Government kita ini seperti membangun rumah mewah tanpa pondasi yang kokoh. Ya, tampak modern, aplikatif, digital, tapi begitu ada gempa kecil—alias pergantian kepemimpinan atau anggaran habis—semuanya ambruk atau ditinggalkan.
IT Governance seharusnya menjadi pedoman untuk memastikan bahwa teknologi yang dikembangkan tidak hanya keren di atas kertas, tetapi juga berfungsi sesuai tujuan organisasi, bisa diukur manfaatnya, dan punya arah jangka panjang. Tapi sayangnya, hal ini justru paling sering diabaikan.
Framework Ada, Tapi Hanya Jadi Pajangan?
Penulis dalam paper tersebut mengangkat tiga kerangka kerja besar yang bisa mendukung implementasi e-Government: COBIT, ITIL, dan TOGAF. Ini bukan framework sembarangan. Di dunia internasional, ketiganya digunakan perusahaan besar dan lembaga negara untuk memastikan sistem TI mereka berjalan efisien, aman, dan terukur.
Tapi mari jujur, apakah framework ini benar-benar diterapkan di pemerintahan Indonesia? Atau hanya sekadar disebutkan dalam dokumen proyek dan laporan pertanggungjawaban? Bahkan jika disebutkan pun, seringkali hanya setengah hati, tanpa pemahaman yang mendalam.
Jangan kaget jika suatu instansi punya sistem digital yang katanya berbasis “COBIT-aligned”, tapi tidak ada satu pun staf yang tahu bagaimana mengevaluasi kontrol TI yang berjalan. Framework-nya ada, auditnya mungkin ada, tapi jiwanya nihil.
Masalahnya Bukan Teknologi, Tapi Mentalitas
Yang menyedihkan adalah, teknologi bukan lagi masalah besar hari ini. Infrastruktur bisa dibangun, aplikasi bisa dikembangkan, dan server bisa disewa. Tapi mentalitas birokrasi yang masih berpola feodal, tertutup, dan anti-transparansi adalah musuh terbesar digitalisasi pemerintahan.