Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nikah Beda Agama, antara Tren dan Syariat

20 Januari 2020   05:21 Diperbarui: 20 Januari 2020   05:38 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau si wanita nonmuslimah tadi rela hidup di negeri suaminya -tetapi kebanyakan tidak mau- dan pada suatu ketika salah satu atau kedua orang tua si suami atau saudaranya atau kerabatnya sempat berkunjung ke rumahnya, maka akan didapatinya keadaan si laki-laki itu sangat asing. Rumah tangganya dengan segala kelengkapan material dan spiritualnya berkarakter Amerika atau Eropa, yaitu rumah "Madam" (nyonya besar), bukan rumah sahabat kita yang berkebangsaan Arab dan Muslim. Si isteri itulah yang menjadi pemimpin rumah tangga dan menguasai si suami, bukan sebaliknya. Dan kembalilah orang tua lelaki itu ke desa atau ke kotanya dengan penuh penyesalan dan kepahitan. Mereka merasa telah kehilangan anak lelakinya yang sebenarnya masih hidup.

Bencana itu akan lebih berat lagi ketika mereka punya anak. Biasanya anak akan berkembang menurut kehendak ibunya, tidak menurut kehendak ayahnya. Anak lebih dekat kepada ibunya, lebih lengket, dan lebih terpengaruh olehnya, lebih-lebih jika si anak dilahirkan di tempat kelahiran si ibu dan hidup di lingkungan mereka. Di sini si anak akan tumbuh dan berkembang menurut agama ibunya, akan menghormati norma-normanya, pola pikirnya, dan tradisinya. Walaupun si anak tetap beragama dengan agama ayahnya, maka itu hanyalah luarya saja, tidak dengan sebenarnya dan tidak dengan pengamalannya. Ini berarti bahwa ditinjau dari segi agama kita telah mengalami kerugian dengan lahirnya generasi seperti itu.

Kelompok ini keburukannya lebih ringan daripada kelompok yang kawin dengan wanita asing, kemudian berdomisili di negara si wanita dan hidup dalam lingkungannya, yang sedikit demi sedikit lebur menjadi sama dengan mereka, yang hampir-hampir tidak ingat lagi akan agamanya, keluarganya, tanah airnya, dan umatnya. Anak-anaknya akan berkembang sebagai anak-anak Eropa atau Amerika. Kalaupun bukan pada wajah, paling tidak, dalam pola pikir, akhlak, perilakunya, bahkan kadang-kadang dalam itikadnya. Tidak jarang wajah dan namanya juga telah menjadi ke-eropa-eropaan dan ke-amerika-amerikaan, sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari Arab atau Islam.

Karena dampak negatif inilah, kita lihat banyak pemerintah yang mengharamkan duta-duta besar atau wakil-wakilnya dan tentaranya yang ada di negara asing untuk kawin dengan wanita-wanita asing demi menjaga kemaslahatan dan kepentingan negara dan bangsanya.

Penting untuk Diperhatikan

Dalam mengakhiri pembahasan ini saya memandang perlu untuk mengingatkan dua perkara yang menurut saya sangat penting sehubungan dengan masalah rukhshah/kemurahan Islam dalam hal mengawini wanita Ahli Kitab.

1. Bahwa wanita Ahli Kitab tersebut memiliki agama yang pada asalnya agama samawi. Karena itu, secara universal, ia sama dengan si muslim (suaminya) dalam beriman kepada Allah, risalah-Nya, hari akhir, nilai-nilai akhlak, keteladanan spiritual yang diwarisi oleh kemanusiaan dari kenabian. Inilah yang menjadikan jarak antara dia dan Islam begitu dekat, karena Islam mengakui asal agamanya dan mengakui prinsip-prinsipnya secara garis besar, dan menambah serta menyempurnakannya dengan segala yang bermanfaat dan baru.

2. Wanita Ahli Kitab -yang demikian itu- bila hidup di bawah naungan suami yang muslim yang berpegang teguh pada ajaran Islam, dan di bawah kekuasaan masyarakat muslim yang berpegang dengan syari'at Islam, dia akan terpengaruh, tidak malah mempengaruhi, akan menerima, tidak malah agresif. Dengan demikian, ia diharapkan mau masuk Islam, baik dalam itikad maupun amalannya. Kalau dia tidak memeluk/menerima aqidah Islam -dan memang sudah menjadi haknya untuk tidak dipaksa memeluk Islam- secara itikad dan amalan, ia akan berperilaku dalam tradisi dan kesopanan masyarakat Islam.

Dengan demikian, wanita semacam ini tidak dikhawatirkan akan mempengaruhi suami atau anak-anaknya, karena kekuasaan masyarakat Islam di sekelilingnya lebih kuat dan lebih besar dari usaha apa pun yang ia lakukan, kalau hal ini memang terjadi.

Karena kuat dan teguhnya si suami pada masa-masa itu serta ghirahnya terhadap agamanya, kebanggaannya terhadap agamanya yang tiada batasnya, merasa mulia dengan agamanya, berkeinginan keras agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik serta selamat aqidahnya, maka si isteri yang Ahli Kitab itu tidak dapat mempengaruhi anak-anaknya dengan pengaruh yang dapat menyimpangkan anak dari garis Islam.

Adapun sekarang, kita harus mengakui secara objektif bahwa kekuasaan laki-laki (baca: suami) terhadap wanita (baca: isteri) yang berperadaban dan berpendidikan itu sangat lemah, karena kepribadian si wanita lebih kuat, khususnya wanita Barat, sebagaimana yang telah diterangkan di muka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun