Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Substansi dan Polemik Dakwah Wahabiyah

10 Oktober 2019   04:43 Diperbarui: 10 Oktober 2019   10:47 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.republika.co.id

Substansi dakwah salafiyah yang diserukan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab bisa disimpulkan ke dalam tiga perkara:

1. Yang mengusik pikirannya sejak masih belia adalah masalah tawasul (wasilah untuk memunajatkan doa, seperti dengan nama dan sifat-sifat Allah) terhadap para Nabi, wali, dan orang-orang saleh. Termasuk pengultusan kuburan, pohon, bebatuan, dengan meminta bantuan kepadanya. Selain itu, meyakininya bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan keburukan.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkannya, karena orang-orang di Nejed sudah terbilang sangat bodoh, mundur, dan berlebihan di dalam mengultuskan semua itu.

Menurutnya, semua itu bertentangan dengan tauhid. Sebab, hanya Allah jualah yang bisa mendatangkan kebaikan dan menjauhkan keburukan. Dia sajalah yang berhak disembah. Dan, hanya kepada-Nya lah saja seharusnya orang-orang meminta apa saja yang diinginkan.

Permasalahan ini -tulis Abd asy-Syafi- kami dapati sangat kental di mayoritas karya-karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, termasuk surat-suratnya yang ditujukan kepada para ulama, baik yang mendukung maupun yang menentangnya.

Oleh karena itu, para pelaku tawasul diserang tanpa ampun, dimulai dengan nasihat, arahan, berkirim surat pada ulama dan sebagainya. Jika masih bersikeras, diperkuat dengan hukuman dari amir/penguasa Muhammad bin Su'ud yang cenderung dengan kekuatan. Ia menilai, para pelaku tawasul itu menyekutukan Allah. Oleh karena itu, wajib diperangi untuk mengembalikan mereka pada kebenaran, yaitu memurnikan tauhid (pengesaan) kepada Allah.

Bersama Sang Amir, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab terlibat langsung dalam menyiapkan pasukan dan menyusun taktik perang. Syaikh dan Amir terus mengimplementasikan yang diyakini mereka benar. Tidak ada kebenaran selain itu yang patut diatasi dengan kekuatan.

Semangat ini menjalari para pengikut mereka. Maka, setiap kali mereka singgah di suatu desa, kota, atau wilayah tertentu, mereka menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan.

Nah, ketika mereka menguasai Hijaz di awal pendirian Daulah As-Su'udiyah ketiga, di bawah pimpinan Abdul 'Aziz bin Abdurrahman bin Faishal Alu Su'ud, mereka menghancurkan kuburan sahabat dan meratakannya dengan tanah, termasuk kuburan Ummul Mu'minin Sayyidah Khadijah dan tempat kelahiran Rasulullah.

Bahkan mereka juga hendak menghancurkan kuburan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya: Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khathab. Beruntung raja Abdul Aziz mencegah mereka, sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau.

Selain itu, mengantisipasi reaksi umat Islam atas tindakan ini. Karena sampai seberingas itu di Hijaz, padahal umat Islam setiap tahun datang dari segala penjuru untuk menunaikan kewajiban haji dan menziarahi kuburan Rasulullah. Umat Islam tentu dicekam ketakutan. Akibatnya, jumlah mereka yang datang ke tempat-tempat suci itu mulai berkurang, karena takut menjadi korban kekerasan pengikut dakwah.

Lebih dari itu, pemerintah Mesir juga melarang Al-Mahmal Al-Mishri datang kesana, padahal kiswah Ka'bah dibuat di Mesir sejak dahulu kala. Donasi dari al-Awqaf al-Mishriyah (Badan Waqaf Mesir) yang diberikan kepada Para fakir miskin di al-Haramain asy-Syarifain (Makkah dan Madinah) juga dihentikan.

Semua itu membuat khawatir Raja Abdul Aziz Alu Su'ud. Maka, untuk menenangkan dunia Islam dan menjamin tempat suci mereka yang paling berharga di Hijaz, digelarlah kongres Islam internasional pada musim haji 1345 H/1926 M. Kongres ini bertujuan agar para delegasi negara-negara Islam melihat langsung dan mengutarakan pendapatnya.

Delegasi Mesir dipimpin oleh Syaikh Muhammad al-Ahmadi azh-Zhawahiri, yang di kemudian hari menjadi syekh di Universitas al-Azhar. Syekh azh-Zhawahiri mencatat kesimpulan kongres, kemudian menyerahkannya kepada kementrian luar negeri Mesir. Sebab, misi yang ia jalankan bersifat formal.

Di dalam kongres tersebut, Syaikh azh-Zhawahiri menyatakan: "Aku akan mengatakannya terus terang, dan ku harap tidak ada seorang pun yang tersinggung. Masyarakat Nejed banyak yang mengkafirkan kalian, gara-gara ini dan ini. Maksudnya, Syekh mengkafirkan orang yang ber-tawasul kepada para Nabi dan wali. Oleh karena itu, kami datang untuk menjelaskan persoalan ini. Dulu, Abu ja'far al-Manshur Khalifah Abbasiyah berniat menggiring masyarakat pada Muwaththa' Al-lmam Malik (buku hadits yang dikarang oleh imam Malik). Akan tetapi, Imam Malik sendiri berkata, Percuma. Para sahabat Rasulullah tersebar di seantero dunia. Dan di setiap kaum terdapat ilmu (baca: ulama).

Nah, -tutur az-Zhawahiri- coba simak pernyataan Imam Malik ini. Sama sekali tidak ada kesombongan dan egoisme. Dia justru meminta masyarakat dibiarkan bebas menentukan mazhabnya... Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, permasalahan ini menyakitkan hati. Pernah suatu ketika aku sedang melakukan sesuatu di belakang Maqam Ibrahim as usai thawaf. Tiba-tiba aku melihat sekelompok orang berkumpul mengelilingi salah satu orang Mesir. Dengan kasar mereka membentaknya: "Adakah kamu mengucapkan; wahai Rasulullah?" (mereka membentak karena orang Mesir itu ber-tawasul kepada Nabi) Orang itu sangat ketakutan. Setelah itu, ia datang kepadaku bersama orang-orang Mesir yang lain. Orang itu berkata kepadaku, "Sudahkah Anda melihat, bagaimana mereka menghalangi kami?". Aku berusaha menenangkan orang itu. Kukatakan pada mereka semua,'Tenanglah kalian jangan takut. Bersabarlah hingga kebenaran itu nyata. Sesungguhnya hidayah itu hanyalah dari Allah."

Begitulah tuan-tuan -lanjut tutur azh-Zhawahiri- inilah salah satu alasan aku menyampaikan usulan ini. Kuharap kalian setuju. Aku akan serukan pada kalian, Allah dan Rasul-Nya. Jika aku katakan "Allah dan Rasul-Nya", kuharap tak seorang pun menentang. Inilah keyakinanku di dalam menjalani agama Allah. Demi Allah dan Rasul-Nya, aku harapkalian bisa memberikan toleransi dan berlapang dada. Kita hentikan pemicu perselisihan yang sangat merugikan umat Islam sendiri." Inilah bunyi usulan yang disampaikan Syaikh azh-Zhawahiri.

Demikian sampai sekarang ini, al-Azhar tetap menjaga eksistensinya, juga prinsip moderasi dan toleransi, dengan mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa kita tidak saling menyalahkan satu sama lain. Bahkan al-Azhar lebih terbuka dan kami mempelajari pendapat-pendapat dari berbagai kelompok.

Pertimbangannya, Hijaz merupakan pusat keagamaan bagi seluruh umat Islam. Mereka mendatanginya dari segala penjuru dunia, meskipun berbeda mazhab fikih dan kalam (Aqidah), dengan satu tujuan: menyembah Tuhan mereka dan melaksanakan manasik. Akhirnya, kongres memutuskan semua boleh melaksanakan ibadah dan manasik sesuai mazhab masing-masing. Tidak ada yang dilarang, kecuali apabila menodai kehormatan seseorang, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Atau, melanggar ijma' (konsensus) ulama ushul fikih yang kuat.

Selain itu, kongres juga memutuskan konsekwensi dari sesuai-tidaknya hukum yang dijalani pengikut madzhab kembali pada ulama madzhab itu sendiri.

Ketika usulan ini digulirkan di kongres, terjadilah diskusi. Dimensi teologis meluas di kalangan delegasi India, Mesir, dan Suriah. Kemudian kongres ditutup dengan keputusannya. Berkat kebijaksanaan dan keluasan cara pandang Raja Abdul Aziz, kekhawatiran umat Islam bisa diatasi dengan menggelar kongres ini. Selain itu, mengurangi anarkisme pengikut dakwah di dalam menyikapi persoalan ini, juga banyak persoalan lainyang mereka anggap bid'ah (sesuatu yang baru yang dibuat-buat dalam ajaran agama). Sebagai contoh, mengambil manfaat dari kemajuan peradaban modern, seperti penggunaan mobil, telegram, telefon dan sebagainya.

Kondisi ini memaksa Raja Abdul Aziz untuk berbicara langsung dengan mereka mengenai persoalan ini. Salah satu yang diutarakan adalah: kemajuan yang masih menjaga agama, kehormatan dan kemuliaan kita harus disambut dengan gembira. Adapun kemajuan yang melukai agama, kehormatan, dan kemuliaan kita, demi Allah kita tidak akan mengizinkannya, tidak pula melakukannya, kendati leher kita harus menjadi taruhannya. Siapapun tahu bahwa penggunaan mobil, telegram, dan telefon dan sebagainya tidak menyakiti agama, tidak menodai kehormatan dan kemuliaannya.

Sepertinya para pengikut dakwah Wahabiyah memperluas cakupan istilah bid'ah. Padahal, menurut banyak ulama yang lain tidaklah demikian.

Syaikh Muhammad Abu Zuhrah berkata, "Sejatinya, kaum Wahabi terlampau bersemangat di dalam mengimplementasikan pendapat Ibnu Taimiyah. Penjelasan kami tentang pandangan Ibnu Taimiyah ketika berbicara mengenai yang menyebut diri mereka "as-Salafiyun" telah mereka ambil. Akan tetapi, mereka memperluas cakupan makna bid'ah. Akibatnya, perkara yang tidak ada hubungannya dengan ibadah pun mereka sebut bid'ah. Padahal, bid'ah sebenarnya merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang sebagai ibadah bertujuan untuk ber-taqarrub/mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak ada dasar hukum agamanya. Tak seorang pun akan menggolongkan peletakan tirai di Rawdhah asy-Syarifah sebagai ibadah melainkan bertujuan untuk mempercantiknya, pun agar orang-orang tidak melihatnya. Tirai ini tak ubahnya ornamen di Masjid Nabawi. Jadi, aneh saja apabila peletakan tirai itu ditentang, sedangkan peletakan ornamen masjid tidak. Ini sama artinya dengan at-Tafriq bayn al-Mutamatsilayn (membedakan dua perkara yang sama).

Sepertinya, ulama Wahabi mematok kebenaran mutlak atas pendapat dan pandangannya, seolah-olah tidak akan pernah salah. Sebaliknya, pendapat dan pandangan orang lain salah dan tidak pernah benar. Bahkan, mereka menilai pendirian bangunan di atas kuburan dan mengitarinya itu identik sekali dengan animisme.

Pandangan seperti itu tidaklah terlalu berbahaya selama mereka terkurung di tengah padang pasir dan tidak pernah melampauinya. Akan tetapi, karena mereka telah berbaur dengan yang lain, tentu ini mulai berbahaya. Oleh karena itu, almarhum Raja Abdul Aziz Alu Su'ud mengantisipasinya dengan menjadikan pendapat-pendapat mereka itu hanya untuk kalangan mereka sendiri, tidak untuk yang lain. Maka, tak heran apabila ia sendiri membuatkan tirai untuk Raudhah, menggantikan kain yang telah usang.

Raja Abdul Aziz Alu Su'ud berhasil mengurangi anarkisme mereka, juga mengajak mereka berinteraksi dengan yang lain melalui cara-cara yang lebih mudah, serta menerima manfaat dari produk kemajuan peradaban.

Salah seorang tokoh berkata, "Aku telah membuatnya merasakan spirit yang kuat, bahwa umat Islam yang tinggal di Mesir, India, Suriah, Palestina, Turki, Rusia, Yogoslavia, dan bangsa-bangsa lain yang sebagian atau seluruh penduduknya beragama Islam, bahwa keislaman mereka itu benar. Adapun soal kubah masjid yang besar, tempat adzan yang megah, dan bangunan kuburan yang mewah tidaklah mempengaruhi keislaman mereka. Tidak pula mengurangi rukun-rukunnya. Sebaliknya, malah menambah keagungan dan keindahannya. Semua itu menjadikanmu merasa agung dan kuat. Selain itu, temuan-temuan bangsa Eropa modern, mulai dari cahaya listrik, alat telepory radio, pesawat rel kereta, otomobil, dan sebagainya bukanlah produk setan. Alih-alih, melainkan perbuatan Allah yang diwahyukan kepada hamba-Nya, anak keturunan Adam. Dialah yang mengajarkan semua itu, sebagaimana mengajarkan pada ayah mereka Adam semua nama."

Upaya Raja Abdul Aziz pribadi dan kongres yang digelarnya membuahkan hasil yang baik. Sepuluh tahun kemudian dari digelarnya kongres itu, pada tahun 1356 H/1937 M, Syaikh azh-Zhawahiri menunaikan ibadah haji. Kala itu ia melihat keadaan jauh lebih baik dari ketika menunaikan haji pertama kalinya. Pemikiran orang-orang Wahabi telah jauh berbeda. Radio terdengar di mana-mana. Telepon telah masuk ke dalam istana Kerajaan Saudi dan kantor-kantor pemerintahan. Bahkan, Syaikh azh-Zhawahiri sendiri terbang ke negara-negara Hijaz dengan menggunakan maskapai penerbangan Mesir, ditemani Thal'at Harb Pasha, kepala perusahaan dan perintisnya.

Demikian itu dilakukan untuk meyakinkan umat Islam secara umum, khususnya penduduk Nejed, bahwa menunaikan haji dengan menggunakan pesawat sebagai salah satu alat transportasi alternatif itu diperbolehkan, bahkan dianjurkan.

2. Yang diperangi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya hingga kini adalah persoalan tasawuf dan filsafat secara umum, tanpa diversifikasi antara filsafat sunni dan salafi yang bersumber dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Suluk (akhlak) para sahabat.

Jadi, tidak ada perbedaan antara filsafat yang diakui jumhur ulama ahlus sunnah dengan tasawuf falsafi yang menyuarakan al-Hulul (kebertempatan), al-Ittihad (penyatuan), dan Wihdah al-Wujud (penyatuan wujud/ada).

3. Penolakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya hingga kini untuk menakwilkan Al-Qur'an. Alih-alih, mereka membiarkan ayat yang berbicara tentang Dzat Allah apa adanya secara tekstual.

Polemik Ajaran Wahabiyah

Inilah ketiga persoalan keyakinan yang dipegang teguholeh Wahabi. Pemikiran ini mendapat penentangan dari kalangan ulama, mayoritas di antara mereka berasal dari Ahlu Sunnah wal jamaah. Artinya, berasal dari rumpun yang sama dengan Wahabi, yaitu salafi.

Terdapat puluhan buku dan risalah yang menyanggah pemikiran Wahabi, disertai dalil-dalil dari al-Qur'an, Sunnah, dan perbuatan sahabat ra, Terkait dengan permasalahan pokok, yaitu masalah pemujaan kuburan yang diyakini bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan keburukan, yang pertama kali menyanggah pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan menyalahkannya adalah saudaranya sendiri, yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, melalui dua risalah; Pertama, berjudul ash-Shawa'iq al-llahiyyah fi ar-Radd 'ala al-Wahabiyah. Kedua, berjudul Fashl al-Khithab fi ar-Radd 'ala lbni Abdil Wahab.

Polemik Tawasul

Risalah ash-Shawa' iq berjumlah 64 halaman, dari awal sampai akhir berisi bantahan terhadap pendapat Syaikh Muhammad. Risalah ini disertai sisipan, yaitu sejumlah risalah dari banyak ulama yang lain, seperti risalah Syaikh Muhammad Hasanain Makhluf, Mufti Ad-Diyar Al-Mishriyah, terkait dengan hukum bertawasul.

Setelah menerangkan makna leksikal dari istilah tawasul, di dalam risalah tersebut ia menyatakan "Seseorang yang melakukan tawasul kepada Allah melalui para Nabi dan wali memiliki banyak ragam, antara lain:

Pertama, seseorang bertawasul kepada Allah dengan para Nabi dan wali dengan niat berdoa kepada-Nya. Sebagai contoh, seseorang yang bertawasul berkata,'Ya Allah, aku bertawasul kepada-Mu dengan Rasulullah saw, atau Ahlul Bait, dan atau seseorang yang wali, agar Engkau berkenan mengabulkan permintaanku, atau menyembuhkan penyakitku, atau mengembalikan ketersesatanku, atau memberikan rejeki kepadaku, atau memasukkanku kedalam surga.'

Jadi, diniatkan sebagai doa kepada-Nya, agar masing-masing dari mereka berdua sama-sama menghadap Allah. Hal seperti ini atau yang serupa dengannya jelas diperbolehkan. Allah berfirman: "Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa" (Al-Maaidah [5]: 2).

Allah akan menolong seseorang, asal orang itu menolong saudaranya. Para sahabat pernah bertawasul kepada Rasulullah ketika meminta hujan. Pernah juga bertawasul dengan paman beliau, al-Abbas. Selain itu, Rasulullah pernah bersabda kepada Umar bin Khathab, ketika hendak umrah, "Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu." Umar berkata, "Mintakanlah oleh kalian kepada Allah wasilah untukku. Sesungguhnya itu merupakan kedudukan di surga yang khusus diperuntukkan bagi para Nabi."

Inilah asal mula semua tawasul yang bermakna minta doa. Selain itu, Allah berfirman, "Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (An-Nisaa' [4]:64). Ini berisi ajakan kepada umat Islam untuk datang kepada beliau dan beristighfar bersamanya. Ini tidak hanya khusus Rasulullah saja, karena tidak ada dalil yang menerangkan kekhususan itu.

Oleh karena itu, ini menunjukkan disyariatkannya meminta syafaat orang-orang saleh, dan menjadikan mereka sebagai wasilah kepada Allah. Allah juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya." (Al-Maaidah [5]: 35).

Dalam arti kata, bertakwalah kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Dan carilah apa saja yang bisa kalian jadikan wasilah, baik ketaatan yang dilakukan dan kemaksiatan yang ditinggalkan oleh kalian sendiri, maupun amal saleh yang bersumber dari selain kalian, yang dapat menghantarkan kalian mendapatkan yang diminta, berupa kebutuhan dunia dan akhirat. Tidak ada bedanya, apakah yang dijadikan tawasul masih hidup atau sudah mati. Sebab, sebagaimana ditegaskan, setelah meninggalkan jasad, ruh seseorang tetap hidup, mengetahui, mendengar, melihat, dan berbicara. Bahkan ia berbicara sebagaimana layaknya makhluk hidup.

Oleh karena itu, maka Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat agar ketika menziarahi kuburan mengucapkan; assalamu 'alaikum ya ahlad diyar minal mu'minin, wa inna insya Allah bikum lahiqun (salam sejahtera bagi kalian wahai para penghuni kubur dari kalangan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian).

Mereka tentu mendengar ucapan salam itu dan membalasnya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits shahih. Inilah tawasul yang menurut Syaikh Hasanain Makhluf diperbolehkan. Adapun tawasul yang tidak diperbolehkan karena mengandung unsur syirik, yaitu meminta wasilah melakukan tindakan dan mengandalkannya, Ia berkata, "Inilah tawasul yang patut diperdebatkan, yaitu tawasul kepada Nabi maupun wali, yang hidup maupun yang mati, dengan menyandarkan tindakan atau perbuatan kepadanya.

Sebagai contoh, dengan berkata, 'Wahai Nabi fulan, sembuhkanlah penyakitku, atau kembalikanlah ketersesatanku, atau berikanlah aku rejeki, atau masukkanlah aku ke dalam surga, atau jauhkanlah aku dari neraka, dan hal lain yang seharusnya disandarkan kepada Allah.'

Seharusnya hanya meminta usaha dan menjadikannya perantara untuk mencapai yang diinginkannya dengan meyakini bahwa nabi maupun wali tidak bisa mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya.

Bertawasul kepadanya, supaya ia menghadap Allah dan meminta-Nya melakukan itu. Nabi maupun wali hanya bisa menghadap, sedangkan perbuatan mutlak hanya milik Allah.

Usaha yang diperbolehkan ini terjadi pada banyak Nabi dan wali. Berapa banyak orang yang sembuh penyakitnya setelah mengikuti saram mereka. Berapa banyak orang yang berhasil memenuhi kebutuhannya setelah mengikuti keinginan dan arahan mereka. Memang benar Rasulullah berhasil mengembalikan penglihatan Qatadah, juga mengobati Ibnu Mula'ib dari penyakit edematous-nya. Akan tetapi, tidak boleh meminta kepada Nabi atau wali sesuatu yang seharusnya disandarkan kepada Allah. Sebab, itu mengandung anggapan bahwa Nabi atau wali itu memiliki salah satu sifat ketuhanan. Pun bahwa ia disembah, bukan Allah.

Jadi, sebagaimana disampaikan oleh al-Alusi, umat Islam sebaiknya menjauhi hal seperti ini. Jadi, ulama membedakan permintaan seseorang kepada nabi atau wali sebagai wasilah kepada Allah, karena meyakininya sebagai orang yang paling dekat dengan-Nya. Namun, meyakini bahwa seluruh tindakan adalah mutlak wewenang Allah. Tawasul seperti ini diperbolehkan.

Adapun adapun yang disertai keyakinan bahwa yang diminta sebagai wasilah memiliki kemampuan, tidak diperkenankan karena mengandung unsur menyerupakannya dengan Tuhan.

Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan para pengikutnya menolak seluruh jenis tawasul. Pandangan ini sebagaimana disinggung di atas ditegaskan di dalam beberapa karyanya, juga karya para pengikutnya.

Di antara bantahan terbaik atas pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang pernah kubaca, adalah bantahan gurunya, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi. Ia menulis, "Wahai lbnu Abdil Wahab... salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk. Aku pesankan kepadamu agar menjaga lisanmu dari umat Islam. Jika kamu mendengar seseorang mendapat pengaruh dari orang lain yang dimintai pertolongan selain Allah beritahu dia yang benar. Jelaskan kepadanya dalil-dalil bahwa tidak ada yang bisa memberikan pengaruh selain Allah. Jika ia tidak mau, kafirkanlah dia seorang saja saat itu juga, tidak perlu mengkafirkan mayoritas umat Islam."

Polemik Tasawuf dan Filsafat

Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan para pengikutnya menolak tasawuf, mencela para pengikutnya, dan menghina mereka dengan sesuatu yang tidak pantas. Hal ini memicu bantahan dari banyak ulama, seperti Syaikh Hasan asy-Syathi melalui risalah yang disisipkan dalam ash-Shawa'iq al-llahiyah fi ar-Radd 'ala al-Wahabiyah.

Dalam risalah tersebut ia mengatakan, "Babak akhir dalam tasawuf dan pengikutnya, menjadi pemicu adanya penentangan dari para ulama zhahir, jawaban atasnya, dan menjadi penyebab keberpalingan. Sekarang aku sudah tidak mendengarnya lagi dan tidak sampai kepadaku pengingkaran pada masa ini atas kelompok Wahabiyah dan selainnya dari para ahli ilmu. Penentangan itu dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap kelompok yang mulia ini dan ketidaktahuan atas tauhid yang murni, yang sesuai dengan syariat, dalil, bukti, fakta, dan penglihatan sebagaimana akan kita ketahui bersama. Allah lah yang akan menjadi penolong."

Tasawuf diartikan oleh para pemimpin kelompok ini dengan lebih dari seratus definisi, semua merujuk pada ketulusan menghadap Allah... Para pengikutnya adalah ahlul wujud yang memiliki pengetahuan.

Syaikh Asy-Syathi menyebutkan beberapa sejumlah tokoh tasawuf, seperti Syaikh Abdul Ghani An-Nabalisi, Musthafa Al-Bakri Ash-Shadiqi, Ibnu Al-Faridh, Abdul Wahab Asy-Sya'rani, dan sebagainya.

Syaikh Abdullah Al-Harawi berkata, "Salah satu bid'ah kelompok Wahabiyah adalah mencela tasawuf dan pengikutnya tanpa penjelasan yang detil. Dalam hal ini, mereka bertentangan dengan pemimpin mereka, yaitu Ahmad bin Taimiyah. Sebab, dia pernah mengomentari Al-Junaid -salah satu tokoh tasawuf kenamaan- dengan menyebutnya Sayyidush Shufiyyah.

Mereka juga bertentangan dengan Imam Ahmad bin Hambal, yang pernah mengatakan kepada Abu Hamzah ash-Shufi, "Apa pendapatmu, wahai Sufi?." Jadi, penolakan mereka menggambarkan ketidaktahuan dan kelemahan mereka. Bagi yang mengenal, sufi melaksanakan al-Kitab dan as-Sunnah, menjalankan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan.

Selain itu, meninggalkan bermewah-mewahan dalam soal makan, minum, berpakaian, dan sebagainya. Sifat-sifat ini sejatinya merupakan sifat keempat khalifah. Oleh karena itu, Abu Na'im menulis buku Hilyah Al-Auliya' yang bertujuan membedakan antara sufi yang sesungguhnya dari yang imitasi.

Ketika di zamannya Sufisme dituduh yang bukan-bukan, juga tasawuf diklaim berbeda dengan sufisme, maka ia memulai dari keempat khalifah. Al-Mustasyar Abdul Halim al-Jundi berkata, "Tasawuf salafi yang disepakati umat Islam, adalah kezuhudan para sahabat dan tabiin, alias as-salafush shalih. Kaum sufi secara umum menganggap Imam Ahmad bin Hambal termasuk bagian dari mereka."

Abu Bakar al-Bathanihi berkata, "Tokoh Sufi di Irak itu ada delapan: Ma'ruf Al-Karkhi, Ahmad bin Hambal, Busyr Al-Hafi, Sari As-Saqthi, ... Ahmad adalah yang paling zuhud dalam pendapatan dan pengeluaran, tempat tinggal, konsumsi,dan pakaian."

Di sana sikap Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan para pengikutnya terhadap tasawuf mendapat beragam reaksi yang tidak mungkin disebutkan di sini satu persatu. Barangsiapa ingin mengetahui lebih jauh, bisa ditelisik lewat catatan referensi dan footnote. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan, tidak sedikit juga ulama yang tidak suka pada sikap orang-orang Wahabi terhadap filsafat secara umum.

Syaikh Abdul Muta'al ash-Sha'idi berkata, "Karakter dakwah Wahabiyah itu dipengaruhi oleh karakter dakwah Ibnu Taimiyah. Dan dakwah Ibnu Taimiyah antipati terhadap filsafat dan ilmunya. Ini kekuarangannya. Akan tetapi, dakwah Wahabiyah jauh lebih berbahaya. Sebab, di masa Ibnu Taimiyah, filsafat yang berkembang masih filsafat klasik, sehingga tidak banyak bernilai di dalam kehidupan praktis. Sementara itu, filsafat di masa Wahabiyah adalah filsafat praktis yang nyata manfaatnya bagi kehidupan. Oleh karena itu, bagi sebuah gerakan dakwah perbaikan (ishlah), tidaklah pas apabila menampik dan acuh tak acuh pada manfaat filsafat."

Polemik Takwil

Masalah ketiga yang disebut-sebut menjadi konsentrasi dakwah Wahabiyah adalah soal penolakan mereka terhadap takwil al-Qur'an dan as-Sunnah.

Ayat-ayat yang berbicara tentang dzat dan sifat Tuhan mereka biarkan sesuai teks yang ada. Sebagai contoh, terkait firman Allah: "...Tangan Allah di atas tangan mereka." (Al-Fath: 10), mereka berkata, "Allah memang mempunyai tangan, tetapi tidak seperti tangan manusia. Dan, terkait firman Allah: "Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal." (Ar-Rahman: 271), mereka berkata, "Allah memang mempunyai wajah, tetapi tidak seperti wajah manusia." Dan, terkait firman Allah: "...dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas singgasana." (Thaha: 5), mereka berkata, " istiwa' itu diketahui benar adanya, tetapi bagaimananya tidak diketahui."

Jika mereka menerima pendapat ini, memercayai, dan menjaganya untuk diri sendiri, tentu tidak akan berbahaya apa-apa.

Persoalan ini memang masih diperdebatkan para ulama. Bahkan, lmam Ahlu Sunnah wal Jamaah setelah terpisah dari Mu'tazilah dan berselisih pendapat dengannya, menilai pendapat ini bersumber dari Imam Ahmad bin Hanbal. Ia dianggap sebagai imam terkemuka dan alim yang Punya pemahaman. Akan tetapi, ia sendiri meninggalkan pendapat ini dan memilih menakwilkannya.

Maka, kata " tangan" dalam ayat "yadullah fawqa aydihim," ia takwilkan dengan al-qudrah (kekuasaan) dan an-ni'mah (karunia). Sementara itu, kata "wajah" di dalam ayat "wa yabqa wajhu Rabbika dzul jalali wal ikram," ia takwilkan dengan "dzat" , dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam hal ini orang-orang Wahabi menyebutnya berpaling. Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah, yang menegaskan bahwa madzhab salaf menetapkan semua yang dibawa Al-Qur'an, mulai dari tahtiyyah (bawah), fauqiyyah (atas), wajah, tangan, istiwa, mahabbah (cinta), bughdh (kebencian), dan sebagainya.

Syaikh Muhammad Abu Zuhrah berkata "Apakah ini benar-benar mazhab salaf ?." Untuk menjawab pertanyaan ini kami katakan: "Sebelumnya, di abad ke-4 Hijriyah, Hanabilah mengklaim sebagai mazhab salaf. Kala itu para ulama mendebat mereka. Menurut Hanabilah, pendapat itu bisa menyeret pada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan tajsim (memfisikkan Tuhan). Bagaimana tidak, sedangkan isyarat inderawi seperti, melihat, mendengar, dll, diperbolehkan. Oleh karena itu, Imam Al-Hambali menentang al-Khathib Ibnul Jauzi. Ia menolak menyebutnya mazhab salaf, juga menolak menyebutnya madzhab Imam Ahmad."

Lebih jauh lagi, Syaikh Muhamamd Abu Zuhrah berkata, "Di sini kita harus ingat, mengklaim pendapat ini sebagai madzhab salaf harus dikritisi. Kami sependapat dengan Ibnul Jauzi ketika pendapat itu merebak di masanya. Akan tetapi, kami harus melihat dari sisi yang lain yaitu sisi bahasa. Allah berfirman, "Tangan Allah di atas tangan mereka." Dan Dia berfirman, "Setiap sesuatu akan musnah, kecuali wajah-Nya." Nah, apakah ungkapan-ungkapan ini dipahami bermakna inderawi, atau mengandung pemahaman lain yang pantas bagi dzat Allah ?.

Oleh karena itu, pantas jika kata "tangan" ditakwil dengan "kekuasaan" atau "karunia". Sah juga apabila kata "wajah" ditafsirkan dengan "dzat" . Dan bolehlah menafsirkan "Dia turun ke langit" sebagai kedekatan-Nya dengan makhluk, dan kedekatan makhluk dengan-Nya.

Bahasa mencakup penafsiran-penafsira ini. Kata-kata itu meliputi arti-arti ini. Apa yang dilakukan teolog kalam tentu lebih baik dari pada menafsirkannya secara tekstual dan tidak mengetahui kaifiat/tata cara-nya. Seperti pernyataan mereka; Allah memang mempunyai tangan, tetapi tidak seperti tangan makhluk. Atau, Allah memang turun, tetapi tidak seperti turunnya kita, dan sebagainya. Dengan begini kita tidak dapat memahami substansi dan akibatnya. Mungkin saya akan membahasnya lebih rinci dan jelas pada tulisan berikutnya.

Namun apabila kita menafsirkannya dengan makna yang sesuai bahasa dan tidak asing, tentu kita bisa mencapai sesuatu yang mengandung unsur tanzih (menyucikan Tuhan dari segala macam kekurangan), juga tidak ada yang tidak jelas.

Jadi, inilah polemik yang terjadi di kalangan para teolog kalam dan fikih sejak dulu. Yang berpandangan tidak perlu ditakwilkan, seperti Wahabiyah, itu hak mereka. Akan tetapi, mereka tidak berhak memaksakan pendapat kepada orang lain, apalagi menyalahkan. Sejatinya, tidak adanya pengakuan dari kalangan wahabi tentang disyariatkannya berbeda pendapat inilah yang memperlebar jurang pemisah di antara mereka dengan kelompok Ahlu Sunnah wal jamaah yang lain. -Allah A'lam-.

Daftar Rujukan:

1. Buku: Mausu'ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-'Alam al-Islami, Karya: Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam, Penerbit: al-Majlis al-A'la' li as-Syu'un al-Islamiyyah, Kairo.

2. Buku: as-Shawa'iq al-Ilahiyyah li ar-Radd 'ala al-Wahabiyyah, Karya: Sulaiman Bin Abdul Wahab an-Nejedi, Penerbit: Maktabah al-Qahirah, Kairo.

3. Buku: Ta'wil as-Salaf li Shifatillah Ta'ala, Karya: Dr. Muhammad Rabi' Muhammad Jauhari, Penerbit: Maktabah al-Iman, Kairo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun