Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sakitnya Menjadi Oposisi Pesakitan di Atas Fondasi Fanatisme Golongan

22 Maret 2019   15:50 Diperbarui: 22 Maret 2019   16:14 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.disclose.tv

Menjelang akhir hayatnya, sang Kiyai yang semoga Allah merahmatinya, menyoroti fenomena banyaknya hoaks tentang keutamaan-keutamaan ibadah-ibadah tertentu yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw. Hal ini tentu saja akan menjadi kontra-produktif terhadap cita-cita mencerdaskan bangsa, karena akan menjebak umat dalam ibadah fiktif serta menumpulkan budaya klarifikasi atau yang disebut juga tabayun.

Bukannya anti terhadap perbedaan pendapat dalam urusan ibadah, karena perbedaan itu memang sediakalanya merupakan bagian dari kehidupan para ahli ibadah itu sendiri. Bukankah kita pernah mendengar perkataan para ahli fikih klasik (ketika mengupas seluk-beluk tata cara ibadah): "Belumlah seseorang dikatakan mencium bau ilmu fikih bila tidak mengetahui perbedaan pendapat dikalangan ulama". Karena keberadaan perbedaan itu benar adanya tapi bukan untuk diada-adakan.

Sikap pertengahan yang dianggap terpuji adalah sikap kritis dengan tidak mencari-cari kesalahan dan diseimbangkan oleh sikap loyal tanpa perlu mencari muka dengan merekayasa berita abs alias asal bapak senang.

Saking kerasnya celaan Nabi Muhammad saw. terhadap kebohongan, bahkan dalam Kitab Shahih Muslim terdapat riwayat tentang seorang pedagang roti yang hendak membuat laku dagangannya dengan cara mengecoh pembeli. Ketika ketahuan maka dia mendapatkan peringatan keras dari Beliau saw. yaitu: "Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami".

Tak peduli semulia apapun tujuan kebohongan itu, selalu saja mendapatkan celaan dalam ajaran Islam. Bahkan mereka yang suka merekayasa sabda Beliau saw. dengan tujuan untuk memancing semangat positif beribadah juga mendapatkan kecaman:"Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena sesungguhnya dusta atas namaku akan memasukkan ke dalam neraka."

Sangat erat hubungan antara kebohongan dengan sikap oposisi pesakitan ini. Karena kelompok ini sebenarnya adalah mereka yang gemar berdebat tanpa tujuan membangun. Terkadang perdebatan itu sengaja dimunculkan hanya untuk memperkeruh suasana antar kelompoknya dengan kelompok yang tidak disukainya.

Hampir-hampir bisa dipastikan, golongan oposisi pesakitan ini akan membumbui isu sensitif dengan kebohongan demi kebohongan. Gayung pun akan bersambut bila bertemu dengan golongan pendukung fanatik.

Umat Islam seharusnya sadar bahwa kehancuran demi kehancuran peradaban yang tumbuh dan telah maju sebelum kelahiran Baginda Nabi saw. disebabkan oleh kebohongan-kebohongan yang ditebarkan dalam pertikaian antar golongan. Keruntuhan Persia ketika itu adalah karena pertikaian internal dalam kekaisaran, demikian pula keruntuhan Romawi Bizantium. Setiap kelompok di dalam kedua kekaisaran kuno itu memiliki pendukung fanatik yang tak mungkin lagi memandang secara adil setiap permasalahan yang ada di negeri mereka.

Bertebarannya kisah-kisah fiktif yang penuh kebohongan pasti akan menjauhkan sebuah komunitas dari keadilan. Bagaimana mungkin mengharapkan keadilan dalam pemerintahan dan penegakan hukum bila mayoritas penghuni komunitas tersebut sangat menggandrungi kebohongan?

Kebohongan itu sangat akrab dengan kecurangan, sebagaimana kisah penjual roti tadi. Sedangkan kejujuran akan mendekatkan kita pada keadilan, yaitu menghargai diri sendiri tanpa perlu mencemooh orang lain. Harapan kita semua tentunya agar norma serta nilai Islam itu dapat menentramkan hati mayoritas anak bangsa, menjadi umat pertengahan yang kritis serta tidak gampang terbawa arus pemberitaan. Karena tak ada yang kuat menahan sakitnya menjadi oposisi pesakitan diatas pondasi fanatisme golongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun