Tesis: Tahun 1990-an, tukang ketik manual dan juru tulis mendominasi perkantoran.
Antitesis: Komputer dan Microsoft Word datang. Kepanikan melanda. "Tukang ketik akan punah!"
Sintesis: Tukang ketik tidak punah. Mereka bertransformasi menjadi operator komputer, admin, hingga content creator. Yang punah adalah mereka yang menolak beradaptasi.
Tesis: Tahun 2000-an, teller bank dan kasir adalah pekerjaan aman dan bergaji tinggi.
Antitesis: ATM, mobile banking, dan mesin kasir otomatis muncul.
Sintesis: Teller tidak hilang total. Mereka berevolusi menjadi relationship officer, financial advisor. Yang bertahan adalah yang mengembangkan soft skill: empati, komunikasi, problem-solving.
Pola yang sama sedang terjadi dengan AI. Pertanyaannya bukan "apakah AI akan menggantikan saya?" tetapi "bagaimana saya berkolaborasi dengan AI?"
Strategi Menghadapi Sintesis Baru
Jika dialektika Hegel akurat, maka ada tiga strategi yang harus diambil pekerja Indonesia:
- Kuasai AI, Jangan Hindari
Data dari LinkedIn Learning menunjukkan bahwa pekerja yang menguasai AI tools mengalami kenaikan gaji rata-rata 25-35% lebih tinggi dari yang tidak. Pemerintah Indonesia melalui Prakerja dan Digital Talent Scholarship sudah menyediakan ribuan pelatihan AI gratis.
- Kembangkan Keunggulan Manusia
AI lemah dalam hal yang manusia kuat: kreativitas kontekstual, empati budaya, pemikiran etis, negosiasi kompleks. Sebuah studi dari MIT menemukan bahwa pekerjaan yang membutuhkan "human touch" justru meningkat permintaannya 48% sejak adopsi AI.
- Berpikir Jangka Panjang