Mohon tunggu...
FAHRI ROJA SITEPU
FAHRI ROJA SITEPU Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN

Olahraga, Olahpikir dan Olahrasa

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Bisakah Dialektika Hegel Jelaskan Gejolak AI di Kantor?

11 Oktober 2025   19:59 Diperbarui: 11 Oktober 2025   19:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/free-vector/robotic-artificial-intelligence-technology-smart-lerning-from-bigdata_16304154.htm#fromView=keyword&page=1&positio

Ketika ChatGPT diluncurkan November 2022, Rini, seorang content writer di Jakarta, merasa dunianya runtuh. "Klien saya mulai bertanya, 'Kenapa harus bayar mahal kalau AI bisa nulis gratis?'" kenangnya.

Kecemasan Rini bukan tanpa alasan. McKinsey Global Institute memproyeksikan 23 juta pekerjaan di Indonesia berpotensi tergantikan atau bertransformasi akibat otomasi dan AI pada 2030. Namun, apakah ini benar-benar akhir dari peradaban kerja seperti yang kita kenal?

Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman abad ke-19, mungkin punya jawabannya. Melalui konsep dialektika tesis, antitesis, dan sintesis Hegel mengajarkan bahwa setiap perubahan besar dalam sejarah bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih tinggi.

Tesis: Dunia Kerja Sebelum AI

Sebelum gelombang AI generatif, dunia kerja Indonesia beroperasi dalam pola yang relatif stabil. Pekerja menghabiskan 60-70% waktu mereka untuk tugas-tugas repetitif: mengetik laporan, menjawab email rutin, mengolah data spreadsheet, membuat presentasi.

Sistem ini berjalan puluhan tahun tanpa gejolak besar. Keterampilan teknis spesifik seperti menguasai Microsoft Office, desain grafis, atau pembukuan manual menjadi jaminan lapangan kerja. Semakin mahir seseorang dalam tugas-tugas ini, semakin tinggi nilai ekonomisnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa sektor jasa, yang sangat bergantung pada pekerjaan administratif dan kognitif rutin, menyerap 48,9% tenaga kerja Indonesia atau sekitar 70 juta pekerja. Ini adalah tesis kita: dunia kerja yang stabil, terukur, dan dapat diprediksi.

Antitesis: Disrupsi AI yang Mengguncang

Lalu datanglah antitesis. AI tidak hanya mengotomasi pekerjaan fisik seperti era Revolusi Industri, tetapi juga pekerjaan kognitif---wilayah yang selama ini dianggap eksklusif manusia.

ChatGPT bisa menulis artikel dalam hitungan detik. Midjourney menciptakan desain grafis yang memukau tanpa sekolah seni. AI akuntansi memproses ribuan transaksi dalam waktu yang dibutuhkan manusia untuk menyeduh kopi. Platform seperti Jasper.ai, Copy.ai, dan tools lokal seperti Kata.ai mulai menggeser peran copywriter, customer service, dan bahkan analis data.

Survei LinkedIn 2024 mengungkap fakta mengejutkan: 68% perusahaan di Indonesia sudah mengadopsi AI dalam operasional mereka, dan 43% dari perusahaan-perusahaan ini mengakui telah mengurangi rekrutmen untuk posisi entry-level.

"Kami tidak lagi merekrut junior copywriter sebanyak dulu," ungkap Budi Santoso, HRD Manager sebuah agensi kreatif di Jakarta. "AI sudah bisa menghandle 80% pekerjaan mereka. Kami butuh orang yang bisa meng-direct AI, bukan yang digantikan olehnya."

Ketakutan kolektif mulai muncul. Media sosial dipenuhi thread tentang "profesi yang akan punah." Mahasiswa kebingungan memilih jurusan. Pekerja paruh baya khawatir terlalu tua untuk belajar teknologi baru. Antitesis ini menciptakan gejolak, kontradiksi, dan kecemasan eksistensial.

Sintesis: Kolaborasi Manusia-AI

Seperti yang Hegel ajarkan, antitesis tidak memusnahkan tesis. Keduanya bertarung, berinteraksi, dan melahirkan sintesis---sesuatu yang lebih tinggi, lebih kompleks, lebih baik.

Inilah yang terjadi di lapangan. Rini, content writer yang sempat panik, kini justru melipatgandakan produktivitasnya. "Saya pakai ChatGPT untuk riset dan draft awal, tapi sentuhan akhir, sudut pandang unik, dan empati itu tetap dari saya," jelasnya. Penghasilannya bahkan naik 40% karena bisa menangani lebih banyak klien.

Kementerian Ketenagakerjaan RI mencatat fenomena menarik: meski ada pengurangan di beberapa posisi, muncul 3,7 juta lowongan pekerjaan baru yang berhubungan dengan teknologi dan AI antara 2023-2024. Posisi seperti AI Prompt Engineer, AI Ethics Specialist, Data Storyteller, dan Automation Manager tidak ada lima tahun lalu.

World Economic Forum dalam "Future of Jobs Report 2024" memproyeksikan bahwa 69 juta pekerjaan baru akan tercipta secara global pada 2027 lebih banyak dari 83 juta pekerjaan yang hilang. Bukan penggantian, tetapi transformasi.

Dr. Adi Nugroho, pakar AI dari Universitas Indonesia, menjelaskan: "AI mengambil alih tugas, bukan pekerjaan. Seorang dokter tidak tergantikan oleh AI diagnostik, tetapi dia bisa mendiagnosis 5x lebih banyak pasien dengan akurasi lebih tinggi. Ini sintesis: manusia + AI lebih kuat dari keduanya sendiri-sendiri."

Pola Berulang dalam Sejarah

Dialektika Hegel bukan sekadar teori. Ini pola yang berulang dalam sejarah teknologi Indonesia.

Tesis: Tahun 1990-an, tukang ketik manual dan juru tulis mendominasi perkantoran.

Antitesis: Komputer dan Microsoft Word datang. Kepanikan melanda. "Tukang ketik akan punah!"

Sintesis: Tukang ketik tidak punah. Mereka bertransformasi menjadi operator komputer, admin, hingga content creator. Yang punah adalah mereka yang menolak beradaptasi.

Tesis: Tahun 2000-an, teller bank dan kasir adalah pekerjaan aman dan bergaji tinggi.

Antitesis: ATM, mobile banking, dan mesin kasir otomatis muncul.

Sintesis: Teller tidak hilang total. Mereka berevolusi menjadi relationship officer, financial advisor. Yang bertahan adalah yang mengembangkan soft skill: empati, komunikasi, problem-solving.

Pola yang sama sedang terjadi dengan AI. Pertanyaannya bukan "apakah AI akan menggantikan saya?" tetapi "bagaimana saya berkolaborasi dengan AI?"

Strategi Menghadapi Sintesis Baru

Jika dialektika Hegel akurat, maka ada tiga strategi yang harus diambil pekerja Indonesia:

  • Kuasai AI, Jangan Hindari

Data dari LinkedIn Learning menunjukkan bahwa pekerja yang menguasai AI tools mengalami kenaikan gaji rata-rata 25-35% lebih tinggi dari yang tidak. Pemerintah Indonesia melalui Prakerja dan Digital Talent Scholarship sudah menyediakan ribuan pelatihan AI gratis.

  • Kembangkan Keunggulan Manusia

AI lemah dalam hal yang manusia kuat: kreativitas kontekstual, empati budaya, pemikiran etis, negosiasi kompleks. Sebuah studi dari MIT menemukan bahwa pekerjaan yang membutuhkan "human touch" justru meningkat permintaannya 48% sejak adopsi AI.

  • Berpikir Jangka Panjang

Hegel mengajarkan bahwa setiap sintesis akan menjadi tesis baru yang akan menghadapi antitesis berikutnya. AI hari ini adalah sintesis, tetapi besok akan muncul teknologi baru. Yang bertahan adalah yang belajar selamanya.

Kesimpulan: Gejolak Adalah Jalan Menuju Evolusi

Bisakah dialektika Hegel menjelaskan gejolak AI di kantor? Jawabannya: sangat bisa.

Kecemasan yang kita rasakan hari ini bukan hal baru. Ini adalah antitesis yang selalu datang setiap kali ada lompatan teknologi. Generasi kakek-nenek kita cemas saat listrik menggantikan lampu minyak. Orangtua kita cemas saat komputer masuk kantor. Kini giliran kita cemas dengan AI.

Tetapi sejarah membuktikan: gejolak adalah jalan menuju sintesis yang lebih baik. Yang binasa bukan pekerja, tetapi mereka yang berhenti belajar. Yang berjaya bukan teknologi, tetapi manusia yang menggunakannya dengan bijak.

Seperti kata Hegel: "The only thing we learn from history is that we learn nothing from history."

Jangan buktikan dia benar. Mari kita belajar, beradaptasi, dan menciptakan sintesis kita sendiri dalam era AI ini.

Referensi:

  • McKinsey Global Institute. (2024). "The Future of Work in Indonesia"
  • BPS. (2023). "Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia"
  • World Economic Forum. (2024). "Future of Jobs Report"
  • LinkedIn Learning. (2024). "Workplace Learning Report Indonesia"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun