Mohon tunggu...
Fahmi Ramadhan Firdaus
Fahmi Ramadhan Firdaus Mohon Tunggu... -

Constitutional Law Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gus Dur dan Politik Tenun Kebangsaan

28 Desember 2016   22:38 Diperbarui: 29 Desember 2016   00:47 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : gusdurian.net

Jember - Sosoknya Humoris dan cinta damai, berbicara tentang Pluralitas semua umat beragama di Indonesia pasti teringat sosok Alm. KH Abdurahman Wahid. Gus Dur, beliau akrab disapa merupakan tokoh religius dan humanis. Ada enam nilai yang hingga kini relevan dijadikan teladan. Yakni, keimanan, kemanusiaan, keadilan, persamaan, silaturahim dan perdamaian. Apapun agama dan kelas sosial seseorang, bagi Gus Dur kemanusiaan tetap nomor satu.

Presiden keempat Republik Indonesia ini dianggap sebagai Bapak Bangsa, beliau adalah pemimpin semua umat beragama di Indonesia. Meski hanya menjabat tidak lama ia mampu menyatukan berbagai perbedaan  suku, agama dan ras yang selama ini dianggap sebagai sekat penghambat kemajuan bangsa. Kita ingat di era orde baru, bagaimana kehidupan kaum minoritas tionghoa yang hidupnya penuh diskriminasi. Era Gus Dur mengubah segalanya, warga tionghoa boleh merayakan hari raya Imlek secara terbuka dan menetapkannya sebagai hari libur nasional. 

Ada hal-hal yang mempengaruhi Gus Dur dalam pemikirannya. Satu hal yang paling tampak adalah pemahaman keislamannya. Selain itu, pengalaman perjumpaan dengan orang-orang berbagai bangsa juga pasti memperkaya khasanah keilmuannya. Tetapi, pemikiran Gus Dur tak bisa jauh dari realitas sosial masyarakat Indonesia. Ada tiga poin:

a. Perdebatan tentang menghidupkan kembali Piagam Jakarta, yang memasukan islam sebagai konstitusi. Meski Pancasila dijadikan konsensus dasar negara namun tak meniadakan wacana tersebut. Sampai saat ini banyak ormas yang secara terang-terangan menyatakan hal ini bahkan sampai ingin mendirikan negara islam. Gus Dur berpandangan bahwa sistem Islam bukan suatu keharusan karena dalam Al-Quran terdapat kategori Muslim yang baik yang dapat dilaksanakan tanpa adanya sistem Islam. Kategori tersebut adalah: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan rukun Islam secara sempurna, menolong mereka yang membutuhkan bantuan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan atau bencana.

b. Sebagai negara yang demokratis, Indonesia perlu memberi pemahaman hubungan yang jelas antara sistem demokrasi dengan keberadaan agama-agama yang ada. Hal ini terjadi karena sebagai negara yang bukan negara agama dan bukan juga negara sekular, masyarakat Indonesia berada di antara dua konsep yang membentuk keindonesiaan. Oleh karena itu, sebagaimana demokrasi memberi ruang pada agama, agama sehendaknya menemukan peran yang tepat dalam sistem demokrasi.

c. Salah satu ciri kental masyarakat Indonesia adalah adanya kultur  lokal. Tak jarang masuk-masuknya agama-agama non lokal telah menimbulkan suatu pertanyaan akan eksistensi budaya-budaya itu dalam agama. Hal mengenai penerimaan budaya tertentu atau penolakan budaya lainnya tentu perlu memiliki dasar yang jelas. Selain itu, perkembangan sains telah membentuk kebudayaan manusia yang baru. Terhadap hal itu agama tentu perlu menyatakan posisinya sebab bagaimanapun juga orang-orang beragama pasti ikut dalam perkembangan kebudayaan itu

Dewasa ini kita dihadapkan pada isu – isu “receh” yang membenturkan antar umat beragama dengan fitnah dan berujung perpecahan bangsa. Namun, tentu tak semua terpancing. Kita sadar agama bukanlah identitas untuk ditunjuk-tunjukan. Selain itu kita beragama bukan mencari agama siapa yang paling benar. Penulis berpandangan bahwa agama adalah hal privat bagi pemeluknya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Meski Gus Dur tak lagi bersama kita, nilai – nilai yang diwariskan masih relevan dan akan abadi sebagai pedoman kehidupan umat beragama di Indonesia dalam bingkai demokrasi. Nilai – nilai yang mampu menyatukan kita yang berbeda dan membentuk sebuah tenun yang indah, tenun kebangsaan. Gus Dur tak pergi, ia hanya pulang.  

*) Fahmi Ramadhan Firdaus
 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun