Mohon tunggu...
Fahmi Mustofa
Fahmi Mustofa Mohon Tunggu... Freelancer - Pegawai Negeri Santai

Hidup hanya untuk bercanda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bercermin Saja untuk Bertemu Denganku Lagi

14 Juli 2019   03:46 Diperbarui: 14 Juli 2019   03:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ayah, bagaimana kalau setelah lulus sekolah aku menjadi seorang seniman saja, yah. Menjadi pelukis yang bisa menggambar wajah ibu dan ayah. Menarik bukan?" sambil ku lemparkan senyuman ini di depan ayahku.

"Setuju saja. Tapi, yang perlu kau ingatkan lagi menjadi seniman tidak mudah. Susah dalam mengatur suasana hatimu. Ia akan menjadi istimewa kalau hatimu sedang bahagia. Cenderung kamu juga akan punya penyakit gangguan jiwa, anakku. Kamu mau seperti itu?" dengan suara lemahnya, mengisyaratkan berat hatinya
"Ayah tahu dari mana tentang persoalan itu?" tanyaku dengan terkejut.

"Lihat saja seniman di era abad 21 yang terkenal itu. Vincent van gogh, asal belanda. Ia seorang pelukis dengan karya yg gemilang. Tetapi, sebelum waktu kematiannya, ia, memotong telinganya. Apa itu bukan hal yang gila?" jawab ayahku, sambil tertawa.

Aku hanya terdiam setelah 30 menit ngobrol dengan ayah, rasanya begitu tenang. Kalau ada ayah yang mencoba untuk menuntun aku berjalan di masa depan. Hal-hal inilah yang sangat penting di usia yang beranjak dewasa. Tetapi, jika kamu sudah tak lagi punya ayah. Silahkan saja mencari jati diri tanpa bimbingan ayahmu.

"Dan kamu sekarang juga sebenarnya sudah mengalami gangguan kejiwaan, hanya saja orang diluar sana tidak tahu" imbuhnya, sambil tertawa lagi melihat wajahku yang berseri-seri

Aku lagi-lagi ya hanya berdiam saja, dan kebingungan atas ucapan ayah barusan saja. Pagi ini rasanya, seperti mendapatkan 'pesan' dari ayah untuk aku tafsirkan dengan sendirinya.

"Kalau ayah pergi dari rumah ini, kamu jangan bersedih ya. Kalau kamu sedang sakit berusahalah untuk sehat. Hati dan jiwa kamu terus tetap waras. Jangan lupa tersenyum setiap kamu mempunyai masalah. Hadapi saja. Karena, kamu sudah layak menjadi seperti ayah. Dan yang terpenting lagi adalah kalau kamu ingin bertemu dengan ayah lagi, kamu harus patuhi ucapan kata-kata ibu kamu. Untuk bertemu denganku lagi. Jangan pernah bantah, karena hanya dia yang kamu punya saat ini" ucap ayah.

Di depan pintu rumah mau keluar, ayah bersiap untuk pergi dengan kondisi sehat dan wajahnya penuh senyum. Ia, menunggangi pundak bahu kananku, dengan tangan kirinya sambil berucap "selamat kau adalah ayah baru di rumah ini. Setelah aku pergi dari sini...." aku pun mendengarnya perlahan menangis, air mata membasahi pipiku yang kering.

Pukul 7 pagi di hari minggu, langit sedang biru. Ada hati yang menggerutu. Tiga gelas teh tawar sudah dihidangkan oleh ibu. Untuk aku, ibu, dan kakakku. Tak lupa juga roti tawar dipersiapkan satu-persatu diatas meja itu.

Sesaat setelah aku beranjak dari tidurku, aku termenung diranjang kasur. Aku mencoba bangun dan duduk. Ku lihat jam di samping kanan dindingku. Dan ku lihat juga di sebelah kiri ada jendelaku. Ku tengok dan melihat diluar sana. Matahari pagi memberi semangat untuk aku tidak bersedih lagi.

"ibu, aku ingin bertanya padamu pagi hari ini. Bagaimana caranya aku bisa bertemu dengan ayah lagi?" tanyaku, dengan muka kusam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun