Bagi sebagian orang, mendaki gunung adalah tentang menaklukkan ketinggian. Namun bagi Maya, pendakian ke Gunung Gede bersama sahabatnya Ita menjadi perjalanan paling menghantui dalam hidupnya.
Awalnya, ini hanya kisah liburan remaja tahun 2007 yang penuh semangat. Maya dan Ita, dua siswi SMA, memutuskan ikut pendakian bersama kakak Maya dan teman-temannya. Namun sejak awal, Maya---seorang Indigo---sudah merasakan kejanggalan. Terlebih Ita yang sedang menstruasi tetap memaksa ikut, melanggar pantangan klasik dalam dunia pendakian.
Dari Telaga Biru yang misterius hingga suara bisikan yang tak kasatmata, satu per satu teror mulai datang. Ita kerasukan, berbicara dalam bahasa Sunda, dan tubuhnya membiru digenggam makhluk astral. Maya yang bisa melihat semuanya hanya bisa menangis, mencoba melindungi sahabatnya di tengah kabut tebal dan jeritan dari alam gaib.
Namun yang paling mengejutkan bukan kerasukan atau penampakan, tapi kenyataan bahwa semua bermula dari sebuah plastik hitam. Sebuah benda titipan dari sang ayah, Pak Irwan, yang ternyata mengandung buhul santet. Benda itu dibuang ke telaga biru, memicu murka para penunggu gunung. Ita, anak yang ceria, menjadi tumbal tanpa sadar atas dosa orang tuanya sendiri.
Cerita ini diangkat dalam film garapan Azhar Kino Lubis, menyentuh tema yang lebih dalam dari sekadar mistis: bagaimana keputusan orang tua bisa menghancurkan anaknya, bagaimana luka tak terlihat bisa membekas lebih dalam dari goresan fisik.
Kini, Maya hanya bisa mengenang. Ita telah tiada. Tapi kenangan mereka tetap hidup di puncak Gunung Gede, di balik kabut dan bisikan sunyi.
Refleksi di Balik Kabut
Film ini tidak hanya mengajak kita merinding, tapi juga merenung. Bahwa menjaga lisan dan niat selama mendaki bukanlah mitos semata, melainkan bentuk penghormatan kepada alam dan penghuni lainnya.
Di dunia ini, kita hidup berdampingan---tak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan yang tak terlihat. Ketika kesombongan dan kelalaian muncul, kadang alam membalas bukan pada pelakunya, tapi pada yang paling tak berdosa.
Kisah Maya dan Ita adalah pengingat bahwa tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan waktu. Ada luka yang perlu disuarakan, dikenang, dan dijadikan pelajaran untuk generasi setelahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI