Mohon tunggu...
Coretan sang kidal
Coretan sang kidal Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Guru

Saya merupakan Mahasiswa Universitas Pamulang program studi Sastra Indonesia, hobi saya bernyanyi, dan menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Film

Sahabatku Tertinggal di Puncak Gunung Gede

29 Juni 2025   19:15 Diperbarui: 30 Juni 2025   11:24 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan mahluk astral di Telaga Biru, Gunung Gede Pangrango, sumber : Original / M. Naufal Fadli

Bagi sebagian orang, mendaki gunung adalah tentang menaklukkan ketinggian. Namun bagi Maya, pendakian ke Gunung Gede bersama sahabatnya Ita menjadi perjalanan paling menghantui dalam hidupnya.

Awalnya, ini hanya kisah liburan remaja tahun 2007 yang penuh semangat. Maya dan Ita, dua siswi SMA, memutuskan ikut pendakian bersama kakak Maya dan teman-temannya. Namun sejak awal, Maya---seorang Indigo---sudah merasakan kejanggalan. Terlebih Ita yang sedang menstruasi tetap memaksa ikut, melanggar pantangan klasik dalam dunia pendakian.

Dari Telaga Biru yang misterius hingga suara bisikan yang tak kasatmata, satu per satu teror mulai datang. Ita kerasukan, berbicara dalam bahasa Sunda, dan tubuhnya membiru digenggam makhluk astral. Maya yang bisa melihat semuanya hanya bisa menangis, mencoba melindungi sahabatnya di tengah kabut tebal dan jeritan dari alam gaib.

Namun yang paling mengejutkan bukan kerasukan atau penampakan, tapi kenyataan bahwa semua bermula dari sebuah plastik hitam. Sebuah benda titipan dari sang ayah, Pak Irwan, yang ternyata mengandung buhul santet. Benda itu dibuang ke telaga biru, memicu murka para penunggu gunung. Ita, anak yang ceria, menjadi tumbal tanpa sadar atas dosa orang tuanya sendiri.

Cerita ini diangkat dalam film garapan Azhar Kino Lubis, menyentuh tema yang lebih dalam dari sekadar mistis: bagaimana keputusan orang tua bisa menghancurkan anaknya, bagaimana luka tak terlihat bisa membekas lebih dalam dari goresan fisik.

Kini, Maya hanya bisa mengenang. Ita telah tiada. Tapi kenangan mereka tetap hidup di puncak Gunung Gede, di balik kabut dan bisikan sunyi.

Refleksi di Balik Kabut

Film ini tidak hanya mengajak kita merinding, tapi juga merenung. Bahwa menjaga lisan dan niat selama mendaki bukanlah mitos semata, melainkan bentuk penghormatan kepada alam dan penghuni lainnya.

Di dunia ini, kita hidup berdampingan---tak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan yang tak terlihat. Ketika kesombongan dan kelalaian muncul, kadang alam membalas bukan pada pelakunya, tapi pada yang paling tak berdosa.

Kisah Maya dan Ita adalah pengingat bahwa tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan waktu. Ada luka yang perlu disuarakan, dikenang, dan dijadikan pelajaran untuk generasi setelahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun