Mohon tunggu...
GoneGone
GoneGone Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tukang Ketik

Menulis, Membaca, Berpetualang dan Bercinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kakek Tua

1 Februari 2023   22:14 Diperbarui: 1 Februari 2023   22:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terlalu banyak mengingat hal-hal kecil dan besar yang terjadi di masa lalu. May memberitahu kelainan di otakku saat umurku genap dua belas tahun. Beliau mengatakan sebuah kata yang lumayan sulit kutiru, awalnya. Namun, ketika kutau bahwa aku harus minum sepuluh jenis obat setiap hari, akhirnya aku dapat menghafal jenis benalu yang bersarang di kepalaku. Skizofrenia.

Malam sudah mulai tua saat umurku masih sangat muda. Lebih dari sembilan puluh enam bulan atau sekitar 8 tahun. Tetiba kudengar suara seorang kakek tua sedang melakukan hal yang tidak masuk akal--mencakar-cakar tembok menggunakan kukunya. Wajahnya samar, terlipat-lipat membentuk ribuan keriput kecil yang menggelantung lembut pada tulang rahangnya.

Aku melihatnya, sungguh! Aku percaya ini bukan mimpi seperti 'old nightmare' sebelumnya.
Mulutnya mengembang membentuk senyum terkejut pada saat aku terus tak berkedip memerhatikannya. Kelakuan konyolnya itu, tak habis kupikir untuk apa? Mungkinkah dia berasal dari alam lain? Seperti Weyne--hantu belanda-- yang sesekali masih bertamu menidurkan kepalanya di meja di samping tempat tidur May. Seperti 'Komplotan hantu Casper' yang belakangan kutau--sebutan lain untuk mereka--namanya cebol.

Sejak kecil, aku selalu merasa tumbuh semakin gila. Pun pada saat aku bercerita tentang pertemuanku dengan kakek yang berwajah bagai aprikot kering di kamar, menggaruk-garuk dinding tanpa henti. Mulanya May beranggapan aku memiliki kemampuan melihat makhluk selain manusia--alam gaib. Tapi, May lebih sering memarahiku saat kuceritakan banyak suara dan bayangan-bayangan aneh yang menarikku, mengganggu tidurku, membuatku sulit bernafas bahkan tak berani memejamkan mata. May berkata tidak ingin mendengarnya, di lain waktu May memintaku untuk merahasiakan segala yang kualami darinya.

Aku tahu May, kau penakut akut. Hanya saja, jika aku bercerita pada Pay, dia sudah pasti akan berkomentar dingin sekaligus datar. Memberiku senyuman lalu mengusap rambutku. Dan kuartikan ekspresi simpatinya seperti berkata: lupakan Alive, cobalah untuk mengendalikan halusinasi murahan itu. Begitulah Pay.

Ya..., Aku tau Pay, aku seorang pengkhayal ulung. Bukan pemilik 'sixsense' yang beberapa orang percayai. Aku yang menciptakannya sendiri. Lullaby-lullaby yang menari di tepian mimpi. Mimpi yang rasanya bukan sekedar mimpi, pun karena aku yang berhak memilihnya.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun