Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Senin, Overthinking, dan Stoicism

21 September 2025   21:34 Diperbarui: 21 September 2025   21:38 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mindfulness. Source: wallpapersafari.com

Kapan terakhir kali kita merasa Senin itu menyenangkan? Beberapa waktu lalu? Saat masih berseragam putih abu abu? Atau mungkin tidak pernah sama sekali?

Banyak anekdot yang lahir dari orang-orang -mungkin termasuk kita- yang cemas menghadapi awal pekan. Contohnya, "Mengapa dari Sabtu ke Senin hanya dua hari, sementara Selasa ke Jumat lima hari?". Atau, kutipan-kutipan yang sering beredar tiap Minggu malam sambil mengingatkan, "Besok Senin".

Ekspresi ini muncul karena gambaran yang terlanjur terbentuk di kepala, bahwa "Senin adalah hari yang sibuk", "Senin pasti dar-der-dor", "Senin pasti ribet", dan jutaan pikiran negatif lainnya. Tapi saya percaya, pikiran ini bukanlah sesuatu yang dikondisikan atau disengaja ada. Reaksi ini muncul karena hal yang sama pernah terjadi di hidup Anda, atau bahkan mungkin saya, baik itu sekali atau berulang-ulang.

Saya ingat dengan sebuah istilah yang cukup relate dengan obrolan lintas generasi masa kini: Overthinking.

Dalam sebuah artikel berjudul "The Role of Rumination in Depressive Disorders and Mixed Anxiety/Depressive Symptoms" yang ditulis oleh Nolen Hoeksema dalam Journal of Abnormal Psychology, overthinking didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang dalam berpikir atau melakukan hal tertentu ketika berada di bawah tekanan (masa-masa sulit) dengan menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran, kecemasan, dan sering memikirkan hal-hal negatif.

Lebih lanjut Farah Octa Suroiyya dalam tulisannya, "Tinjauan Overthingking dan Berbagai Intervensi Konseling Untuk Mengatasinya", menyebut bahwa hal ini dapat terjadi karena adanya beberapa kejadian di masa lalu yang kurang menyenangkan dan menimbulkan tekanan, stres, bahkan trauma yang membekas dalam jangka waktu yang lama dapat memicu overthinking bila dihadapkan kembali dalam situasi yang sama di masa sekarang.

Secara teoretis, overthinking memang diakui eksistensinya. Dalam arti, overthinking bukan sekedar mengada-ada, atau dibuat-buat. Kondisi psikologis ini bisa muncul sewaktu-waktu bergantung pada situasi dan kondisi diri.

Lalu, apakah ada cara yang bisa membantu mengurangi keadaan tersebut?

Yap, mindfullness. Ada sebuah keadaan yang dinamakan dengan"mindfullness", dimana jika kita merujuk pada tulisan Ruth A Baer bertajuk "Mindfulness training as a clinical intervention: A conceptual and empirical review" (2003), mindfullness adalah pemusatan kesadaran pada keadaan saat ini, menerima keadaan tersebut, dan tidak menilai pengalaman yang dialami baik atau buruk.

Konsep ini berguna untuk mengatasi kecemasan atau pikiran-pikiran negatif sebelum sesuatu itu terjadi. Alih-alih "memimpikan" Senin yang buruk, mindfullness membantu kita untuk menghadapi Senin dengan ketenangan diri. Kekuatan pikiran juga membantu kita untuk mewujudkan sesuatu berjalan dengan baik dan lancar, atau banyak orang mengidentifikasikannya dengan "manifesting". Memanifestasikan Senin yang bahagia, why not?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun