Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencerna (Boikot) Sari Roti

13 Desember 2016   09:22 Diperbarui: 13 Desember 2016   09:30 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi 212 telah usai, sebuah persatuan indah bagi umat Islam Indonesia. Begitu indah tidak hanya ajang silaturrahmi persatuan, tetapi juga ajang bagi para pedagang menjajakan produknya yang melampaui konteks eksistensi mereka yang boleh di kata golongan menengah ke bawah. Sedikit menjungkirbalikkan teori Marx, ibarat buruh berlagak pemilik modal, salah satunya ialah para pedagang Sari Roti.

Sungguh nikmat dikala para peserta menikmati guyuran hujan yang ikut memeluk tangis haru para jama'ah, dikala dompet tak akur dengan hasrat perut yang ikut bergemuruh. Saat itupula sirene merdu si roda tiga (hawker tricycle) mengeluarkan jurus jitu "Sari Roti" secara cuma-cuma. Si imut lembut nan manis menjadi penyelamat perut kosong berbunyi nyaring. Seketika para jama'ah menikmati lalu berucap syukur Alhamdulillah.

Keheningan melanda bak dahaga yang terobati, itulah yang dirasakan umat Islam pasca aksi 212. Jikalau ada yang ramai, paling hanya membicarakan pengalaman luar biasa itu atau hanya untuk sekedar adu kebahagiaan. Tapi keheningan ibarat air laut, keheningan hanyalah ombak yang tertunda. Resistensi terhadap salah satu media televisi adalah bak ombak yang bergelombang, namun yang tidak dapat dicerna adalah reaksi impulsif umat Islam terhadap klarifikasi atau mungkin sebatas pernyataan dari pihak manajemen Sari Roti yang terlampau eksesif dan bahkan ombak-ombak tadi pun berubah menjadi jutaan buih di lautan.

Memang saat live report yang di posting oleh ribuan akun sosmed yang menjadi saksi aksi tersebut, Sari Roti menjadi menu viral bak pahlawan yang dielu-elukan karena suatu kata yang tak lazim namun tercerna oleh keadaan, yaitu tulisan "Gratis" di seluruh hawker tricycle yang tentu membuat decak kagum para netizen. 

Namun pasca pihak produsen Sari Roti mengeluarkan pernyataan bahwa yang intinya Sari Roti tidak terlibat dalam kegiatan tersebut dan sedikit mengklarifikasi asal muasal lahirnya tagline "Gratis" kepahlawanannya pun tenggelam di telan kekecewaan yang mendalam. Umat Islam alumni 212 lalu menuding atau setidak-tidaknya menegaskan adanya unsur keberpihakan seolah-olah Sari Roti berada di kubu yang satu, hal ini bisa kita lihat pada setiap postingan yang terlempar tak karuan itu. 

Hasilnya gerakan boikot Sari Roti mengalir deras bak arus banjir bandang yang keras menenggelamkan citra Sari Roti (bahkan sahamnya ikut menurun tipis) akibat hujan deras kekecewaan tak karuan itu. Ada apa dengan pernyataan tersebut? Adakah unsur keberpihakan?

Ajakan boikot Sari Roti mengundang beragam reaksi, boikot memangg cara ampuh untuk mematikan suatu obyek atau setidak tidaknya menjatuhkan nilai dan citra suatu obyek, hal ini pertama kali dilakukan saat Tirto Adhi Surjo memperkenalkan "Boycott" di koran "Medan Prijaji" untuk menggerakkan kekuatan boikot terhadap perusahaan gula yg di kuasai oleh Kolonial (efek awal kapitalisme - dalam Sang Pemula karya Pramoedya).Namun sepertinya umat Islam yg masih terbawa suasana 212 tergerak untuk melakukan boikot yg agak terlampau eksesif akibat poros pipa-pipa informasi tanpa filterisasi yg mengakibatkan informasi tanpa sterilisasi.

Patut kita analisis bahwa klarifikasi pihak manajemen Sari Roti pada tiap-tiap poinnya bukan suatu tindakan resistensi terhadap aksi 212 melainkan sebgai bentuk klarifikasi bahwa mereka tidak mensponsori suatu aksi yg melibatkan suatu golongan. Meskipun demikian pernyataan tersebut jika kita analisis justru muncul secara tidak lazim. 

Untuk apa sebuah korporasi sebesar Sari Roti sampai mesti mengeluarkan suatu pernyataan yang juga terlalu prematur atau bahkan sama sekali tidak perlu dikeluarkan. Seperti kegagapan para direksi melihat efek dan kondisi di lapangan yang menempatkan label "gratis" seolah begitu seksi, di satu sisi optik para liberalis seolah melihat aksi yang disponsori korporasi, lalu kegagapan menjangkiti syaraf impuls para Direksi yang mungkin merasa perlu klarifikasi agar stabilisasi saham tetap kredibel di mata para kapitalis-kapitalis. Hasilnya? Yang terjadi sungguh di luar dugaan dan kendali. Klarifikasi menjadi bumerang oleh argumentasi para Islamis dengan optik logika terbalik (a contrario) seolah klarifikasi menandakan kegagapan akibat keberpihakan kepada kalitalis.

Meskipun menurut hemat saya, klarifikasi tersebut menegaskan bahwa aksi 212 tidak ditopang oleh para pemilik modal, namun murni semurni hati para peserta yang menyatukan satu tujuan yg sama, aksi boikot cukup memukul saham Sari Roti yang jatuh tipis walau tidak sedramatis yang takutkan. Mungkin sudah saatnya Shar'i Roti mengganti tempat yang sudah roboh itu. Jika boikot terhadap produk sejenis roti berhasil, mengapa yang sekelas Rokok yang murni adiktif dan destruktif kok tidak di boikot?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun