Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Lapas Sukamiskin dan Wabah "Prison Corruption"

5 Agustus 2018   20:56 Diperbarui: 5 Agustus 2018   21:21 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(manado.tribunnews.com)

Jum'at tanggal 20 Juli 2018 tepatnya di malam hari KPK berhasil membongkar praktek perdagangan fasilitas di Lapas Sukamiskin Bandung. Mungkin malam itu hanya menjadi malam yang berat dan gelap bagi para narapidana dan Kepala Lapas Sukamiskin yang ikut tertangkap oleh operasi senyap KPK tersebut, namun sesungguhnya gelapnya operasi senyap tersebut ikut membuka tirai gelapnya masa depan pemberantasan tipikor di Indonesia.

Masalah penyalahgunaan jabatan di Lapas yang berujung pada praktik perdagangan fasilitas memang bukan hal yang baru di Indonesia, tengok saja sel mewah Artalyta Suryani, bilik asmara Freddy Budiman hingga plesiran sang mafia pajak Gayus Tambunan (escape plan). Maka, OTT di Lapas Sukamiskin menjadi lanjutan anyar dari rangkaian kisah bobroknya mekanisme penitensier bagi para terpidana kasus-kasus kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).

Sesungguhnya keadaan tersebut tidak hanya dialami di Indonesia, di Amerika keadaan demikian disebut dengan istilah "prison corruption". Fenomena tersebut rentan terjadi pada narapidana kelas kakap yang notabene memiliki kemampuan finansial yang kuat. Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Columbia Law School di Amerika mengungkap bahwa para petugas lapas di Amerika maupun pimpinan lapas yang kerap memperdagangkan kuasanya (trading in influence) cenderung untuk menawarkan berbagai macam fasilitas kepada para narapidana, seperti penyelundupan barang-barang elektronik (smuggling cell phones), obat-obatan atau narkoba (drugs), senjata api (smuggling weapons), bantuan pelarian (escape plan) hingga bantuan mengendalikan bisnis kejahatan dari balik sel (orchestrated crime). Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan dengan bayaran yang pas (bribes) atau dengan kenikmatan seksual (sexual favors).

Lapas dalam Sistem Peradilan Pidana 

Satjipto Rahardjo pernah mengungkapkan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) memerlukan penanganan yang luar biasa pula (extra-ordinary measures). Eksistensinya yang konsisten di wilayah pidana khusus (lex specialist) tentu memiliki instrumen-instrumen khusus yang digunakan dalam memberantas tipikor. Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), eksistensi lapas sama kedudukannya dengan lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian/KPK, Kejaksaan, Pengadilan dan Advokat.

Korelasi antara lapas dan seluruh komponen institusi penegak hukum di atas menurut Ishikawa adalah terikat dan terpadu ibarat rantai yang terpasang pada roda bergigi. Semua bekerja dengan kombinasi yang pas untuk menghasilkan putaran yang ekuilibrium. Keterpaduan tersebut berakar pada mekanisme sistem yang dibangun untuk memacu efektivitas daya gerak mekanistis pada proses peradilan pidana yang berorientasi pada ketercapaian tujuan peradilan pidana.

Lapas sebagai organ terakhir dan inti dari proses peradilan pidana adalah tempat pengujian terhadap ketercapaian tujuan peradilan pidana. Selain berorientasi pada pemberian efek jera (deterrent), pemberian rasa puas kepada masyarakat sekaligus perlindungan terhadap masyarakat (social defence) juga sebagai tempat pembinaan sekaligus pemulihan kesadaran narapidana (consciousness of inmates) yang meliputi pembentukan karakter, pendidikan, konseling, penyegaran rohani dan pembangunan kreativitas dan keterampilan.

Pembinaan narapidana merupakan ihwal esensial yang menjadi nyawa eksistensi lapas. Jika paradigma pemidanaan pada masa lampau lebih berorientasi kepada pemberian efek jera (deterrent) dan perlindungan masyarakat (social defence), maka paradigma saat ini juga termasuk pembinaan kepada narapidana agar dapat diresosialisasi dan reintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat (reintegrated).

Menggugat Lapas Koruptor

Terkuaknya sel-sel mewah narapidana koruptor di lapas sukamiskin kembali menyentil nalar kita bahwa pemberantasan tipikor tidak berakhir sampai putusan pidana tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Efektivitas pemidanaan haruslah dilihat secara komprehensif hingga pada aspek penitensier sebagai tempat pencucian virus-virus tipikor. Bayangkan jika untuk membersihkan kotoran kita menggunakan sapu yang kotor, maka kotoran hanya akan semakin menyebar (widespread).

Paradoks yang kian tertanam pada persepsi masyarakat tentang lapas bukan lagi tempat rehabilitasi virus-virus kejahatan, tetapi menurut Anwar dan Adang, lapas juga bisa menjadi tempat para narapidana belajar atau mengupgrade keterampilan (skills) tentang kejahatan, sehingga terminologi lapas dapat berarti sebagai sekolah kejahatan (the academy of crimes).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun