Mohon tunggu...
Fa Ra
Fa Ra Mohon Tunggu... -

manusia sederhana. yang sedang mencoba untuk menorehkan setitik warna di atas kanvas hidup. mencoba menuliskan jejak-jejak pada jalan yang ditempuh. mengabadikannya dalam memori, dan membuatnya tak sekedar ingatan tentang masa lampau. membuatnya menjadi lebih berguna...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kataku: Kata Masih Punya Makna

26 April 2010   22:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:34 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang kita larut dalam rutinitas. Sejenak lupa mimpi-mimpi kita yang lain, yang tentulah tak mungkin dipeluk dalam kejenuhan. Sejenak lengah akan hasrat yang merindui diri kita sendiri. Yang seakan entah dimana, tapi sesungguhnya begitu lekat.

Aku, atau pun kita, yang sedang mencoba untuk menorehkan setitik warna di atas kanvas hidup. Mencoba untuk menuliskan jejak-jejak pada jalan yang ditempuh. Mengabadikannya dalam memori, dan membuatnya tak sekedar ingatan tentang masa lampau.

Tapi rutinitas ternyata membuatku—kita terjebak. Tiap waktu yang mengharuskan kita terus-menerus berjibaku dengan kerja, dari ketika matahari masih malu-malu menghangatkan dunia, hingga bulan-bintang menggantikannya.

Bagaimana mungkin, aku seperti terlalu sibuknya hingga tak lagi menulis serius, hanya menuliskan remeh-temeh saja. Tak menyempatkan diri untuk memperbarui tulisan yang sedikit lebih ilmiah, sedikit lebih kritis, sedikit lebih… Ah! Agaknya waktu 24 jam sehari, tujuh hari seminggu seperti tak cukup saja, padahal sangat jelas, aku tak sesibuk itu sama sekali. Tapi menulis satu hal saja tak kunjung selesai. Menulis satu ide yang muncul saat melaju motor di pagi hari dengan mentari yang menyilaukan pandanganku menuju ujung timur Jogja itu. Atau sedikit hal yang ku lihat sewaktu pulang, seperti kelompok seni lokal—entah apa namanya itu, di bawah jembatan layang yang beberapa kali ingin ku apresiasi tapi selalu urung oleh lampu hijau yang segera menyala (alasan!). Atau, aduh, Jogja ini telah sangat padat. Telah sangat riuh.

Beberapa ide dari kawan-kawan tak cukup menyulutkan api untuk menulis sebuah analisis. Bagaimana dengan beberapa hal keagrariaan yang telah lama tertunda. Kabar instansi itu. Heii…, bagaimana dengan “golput”-ku. Bagaimana dengan …

Jangan-jangan karena hasratku sejenak teralihkan, atau kemalasan sedang memelukku, atau ah, entah. Sensitivitas harusnya selalu dipelihara. Karena mata seringkali tak cukup bisa membaca sekeliling kita. Karena kita tak bisa berharap cahaya akan selalu menerangi kita. Api selalu menghangatkan kebekuan. Tapi kitalah yang harus menghidupkan api dalam diri kita sendiri.(***LNF)

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun