Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

November Ini Tak Turun Hujan

14 November 2023   21:18 Diperbarui: 14 November 2023   21:31 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Elgen

"November ini tak turun hujan." Ojan tengadah setelah mengucapkan itu. Ia masih bingung -atau barangkali syok- sebab seusai mengajar di madrasah tadi, Aziza mengatakan bahwa ia telah hamil. Padahal baru kemarin lamarannya kepada Tuan Guru dipertimbangkan untuk diterima. Bagaimana mungkin sekarang ia harus berhadapan dengan keadaan semacam ini. Bayangkan saja, seorang ustadz terbaik pada sebuah madrasah kaliber dikabarkan menghamili seorang putri seorang kepala pesantren. Ini bukan hanya akan menjadi masalah pribadinya, melainkan juga akan merembet kepada hal yang lebih besar, perpecahan ummat barangkali. Mengingat seorang ustadz, tuan guru, beserta putrinya merupakan tokoh yang harusnya suci.

Ojan duduk di aula madrasah dengan ingatan tentang perkelahiannya yang sengit dengan Aziza. "Tak mungkin semudah itu, Za!" Aziza yang kalap itu tak hanya menangis, "Jadi begitu, mudah sekali kau katakan hal demikian. Ini anakmu, Jan. Umi sudah mulai curiga, sebab aku sering mual-mual." Ucapan Aziza itu yang membuat Ojan tak bisa tenang sampai saat ini. Putri yang lugu itu tak akan bisa menerima keadaan murahan seperti ini. Lebih-lebih, abahnya yang tuan guru itu membuatnya semakin merasa ingin hilang saja.

"Bagaimana jika Tuan guru mengetahui hal ini. Bagaimana dengan lamaranku."

Sementara hari semakin panas walaupun belum siang. Cuaca memang seperti itu sejak Juni. Katanya tahun ini kemarau akan lebih terik, terbukti dengan November yang tak pernah kedatangan mendung, apalagi hujan. Ojan mengingat-ingat kejadian itu. Malam itu tengah diadakan tabligh akbar di madrasah. Anak-anak pondok serta seluruh warga madrasah berkumpul di aula. Ojan yang ustadz itu bebas memasuki seluruh area asrama untuk memastikan bahwa tak ada yang tak ikut tabligh. Hingga ia bertemu Aziza di koridor asrama santriwati. Mereka saling memberi senyum serta saling menanyakan surat-surat terakhir yang mereka kirim, kemudian menyelinap ke dalam kamar salah satu santri lalu berlanjut pada kejadian memalukan itu. Tradisi pesantren yang sangat melarang pertemuan lelaki dan perempuan membuat satu kesempatan saja menjadi penuh birahi. Kungkungan semacam itu pada akhirnya menjadi semacam bumerang.


Siapa yang tak menyukai Aziza, putri tuan guru itu. Selain cantik, ia juga sangat lugu dan menguasai ilmu agama, membuatnya menjadi incaran seluruh ustadz. Ojan salah satunya. Ojan mengirimkan surat pertamanya kepada Aziza melalui seorang santriwati. Katanya kepada sanriwati itu, surat itu adalah catatan inventaris madrasah sebab mengirimkan surat cinta sangat terlarang di sana. Hingga, mereka terbiasa saling berkirim surat-surat. Mereka hanya akan bertemu di koridor madrasah ketika hendak masuk kelas untuk mengajar. Itupun sebentar, sebab bertemu terlalu lama lagi-lagi terlarang.



"Mengapa cinta harus seketat ini, Lale. Apakah aku salah jika tiba-tiba tidak menyukai aturan madrasah padahal aku tahu ianya bersumber dari agama kita. Cinta kita murni, kekasih. Lalu dengan apa mengatakannya jika bukan melalui jalan ini. Sementara aku tidaklah berani menghadapi Tuan Guru untuk mengkhitbahmu, serta tidak pula mempunyai keluarga untuk menyampaikan niat taaruf-ku. Lale, jika memang jalan ini salah, maka aku tetap suka. Aku berjanji, akan mengkhitbahmu jika aku sudah siap."

 Demikian tulis Ojan dalam salah satu suratnya yang berhasil membuat Aziza tak lagi terlalu berbangga sebagai keluarga seorang tuan guru. Beban itu terlalu berat, bukan karena tuan guru menghendaki calon mertua yang setara, namun secara tak langsung pastilah abah akan memilih yang paling terbaik di antara orang-orang baik itu.


Ojan menyapa Aziza dengan Lale, sesuai dengan nama depannya. Namun juga nama depan itu sebenarnya membuat Ojan gentar setiap memikirkan bagaimana caranya mengkhitbah Aziza sebab ia hanyalah ustadz di kelas, bukan keturunan Raden yang tentu sekelas dengan Aziza. Tentu hal itu akan menjadi salah satu pertimbangan Tuan Guru, mengingat bukan hanya ia yang berniat mengkhitbah, tapi juga ustadz-ustadz dari kalangan sesama bangsawan dan bahkan sesama tuan guru. Di tanah tempat pesantren itu berada, memahami ilmu agama adalah satu tingkat lebih tinggi dari darah bangsawan. Dan pastilah Ojan mengerti, jika semua pelamar memiliki pemahaman agama yang setara dengannya, maka yang menjadi pertimbangan tuan guru selanjutnya sudah dapat ditebak, sesuatu yang Ojan tak miliki.


"Ojan. Percayalah. Abah tidak akan meminta hal yang tak bisa kau perbaiki. Kau paham agama, dan aku mencintaimu. Barangkali itu cukup untuk menghadapi abah. Aku tidak akan peduli jika kau bukan keturunan Raden, sebab kau dapat mengimamiku tanpa itu. Aku pasti menunggu lamaranmu, ustadzku." Demikian tulis Aziza dalam salah satu suratnya.


***


Telah dua ratus enam puluh dua kali Ojan mengirimkan surat-surat kepada kembang kesayangan Tuan Guru itu. Di madrasah itu, berkirim kabar kepada pacar adalah seperti serdadu berkirim kabar kepada keluarga pada masa penjajahan. Kau harus pandai-pandai menyelundup. Lebih-lebih Ojan pula salah satu ustadz, tentu tingkah lakunya harus serba baik. Ojan adalah salah satu yang mengawasi santri agar tak melakukan hal semacam itu, dan jika kedapatan, maka orang tua santri yang bersangkutan akan diundang ke pesantren untuk dikabari secara langsung serta si lelaki akan digunduli di lapangan. Ojan tak ingin sampai kedapatan mengirimkan surat itu, ia sudah bisa menebak -jika hukuman itu juga berlaku bagi ustadz- pastilah tuan guru sendiri yang akan langsung menggundulinya di lapangan.


Pada suratnya kali ini, Ojan mengirimkannya kepada tuan guru untuk menyatakan lamarannya. Di atas meja ruang kepala pesantren itu, setelah menyelinap masuk pada jam istirahat, ia meletakkan surat itu.


"Tuan Guru Raden, mencintai putrimu bagiku adalah seperti seorang buta yang mencitai kertas: saya hendak menggunting kertas itu menjadi bunga, tetapi sayang sekali saya tidak tahu bagaimana memulai, melanjutkan, dan mengusaikannya. Bahwa saya juga tahu diri, Raden. Saya adalah salah satu ustadz yang sudi Raden pungut dari tempat kumuh dengan tangan terbuka bagi siapa saja. Sekarang dalam nama Tuhan dan nabi-Nya, serta cinta, dengan segala ketidaksetaraanku atas seluruh kemuliaan Raden, saya hendak menyampaikan khitbahku kepada Lale Aziza, putri semata wayangmu. Semoga Tuan Guru Raden merestui."


Surat itu telah dibaca oleh Tuan Guru. Hal itu membuat Tuan Guru mengundang Ojan ke rumahnya untuk memberikan jawaban. Tuan guru akan mempertimbangkan lamaran itu di antara tujuh lamaran lainnya yang belum mendapat kepastian. Itu adalah kali ketiga ia berlawat ke rumah tuan guru, pertama ketika ia disahkan mengajar di pesantren, kedua ketika ia meminta berkas mengajar (sebagai alasan menikmati secangkir kopi buatan Aziza). "Kami akan memusyawarahkannya dengan keluarga dan Aziza. Semoga kau dapat bersabar," Tuan Guru menjawab demikian.


Ojan semakin tak percaya diri jika mengingat-ingat latar belakang keluarganya. Barangkali di madrasah itu, ia adalah satu-satunya ustadz yang keluarganya tak harmonis. Sepulangnya dari luar negeri menyelesaikan strata duanya pada fakultas usuluddin, Ojan menemukan ayahnya sedang minum. Rupanya ibunya telah diceraikan semasa ia di luar negeri. Dua bulan kemudian, ayahnya meninggal keracunan alkohol. Sebenarnya Ojan tak terlalu kaget menyaksikan ayahnya dalam keadaan seperti itu sebab seperti yang juga orang-orang kampung kenal, ayahnya itu adalah ketua klub sabung ayam. Maka untuk menghindari kelakuan ayahnya itu, ibunya memerintah Ojan untuk mengejar pasca sarjana agar dapat mengubah keadaan keluarga. Ibunya terkenal sabar menghadapi suami semacam itu. Ia awalnya menikah dengan lelaki itu untuk membayar hutang sabung ayam ayahnya. Keadaan demikian itulah yang membuat Tuan Guru tertarik membawanya ke madrasah. Di mata Tuan Guru, Ojan gigih menjalankan agamanya. Hal itu kemudian membuat Ojan sangat menghormati Tuan Guru, dan kalau bukan karena cintanya yang benar-benar itu, pastilah ia tak akan sampai meminta jantung.


Hari semakin terik. Hawa panas di aula mulai terasa meskipun angin tetap saja sepoi seperti kebanyakan bangunan agama lainnya. Bangunan-bangunan agama memang seperti itu, sematahari apapun panasnya ia akan tetap sejuk, kata Tuan Guru, itu disebabkan oleh Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa tempat-tempat semacam itu adalah bagian dari taman-taman surga. Ojan membayangkan kalau-kalau Tuan Guru mengetahui kehamilan Aziza. Lamaran itu akan semakin kecil kemungkinannya untuk diterima sebab agama tidak membenarkan anak luar nikah bernasab dengan lelaki yang menghamili ibunya tanpa akad. Tuan guru pastilah menolak lamaran itu.


***


Zuhur sudah berkumandang di masjid pesantren. Ojan sudah benar-benar yakin bahwa Aziza tak mungkin bercanda, walaupun tadi ia sempat berharap bahwa ini hanyalah permainan Aziza, nanti Aziza akan memberikan kejutan bahwa ini hanyalah sebagai peringatan anniversary mereka sambil membawa kue tart. Akan tetapi segera ia patahkan, sebab mereka tak pernah bepacaran, juga tak mungkin melakukan perayaan semacam itu di pesantren. Ojan tak khusyuk dalam salat. Ia gemetar di belakang Tuan Guru yang mengimami. Lantunan Al-Lahab dalam shalat itu diartikannya sebagai ayat kutukan yang menggelegar mengecam dirinya.


Ketidaktenangannya terus berlanjut setiap hari. Di kelas, ia hanya masuk mengabsen santri, kemudian memberi salah satunya buku untuk dicatat di papan tulis. Ah, bayangkan jika seluruh ustadz mengalami masalah seperti yang dihadapi Ojan, tentu pabrik kapur tulis dan spidol akan semakin maju. Juga, jika ada kesalahan kecil saja dari santri, Ojan akan marah-marah. Santri yang pada awalnya menyukai Ojan sekarang harus menemukan Ojan dengan tingkah yang berbeda sama sekali.


Hingga pada suatu malam, Ojan dipanggil oleh Tuan Guru ke rumahnya pada dua minggu setelah kejadian yang meresahkan Ojan dan menyedihkan Aziza itu. Tidak seperti biasanya, kali ini Tuan Guru duduk dengan tatapan tajam. Tak ada senyum malam itu. Tuan guru menggebrak meja, "Demi Allah, antum laknat terbesar dalam keluarga kami!" Tuan Guru membuka tegang yang gamang dengan sumpah itu. "Bagaimana sekarang caranya ana menyelesaikan masalah ini. Bunga milikku satu-satunya antum matikan." Di luar, santri yang baru pulang mengaji terkejut mendengar gelegar suara Tuan Guru yang tak pernah mereka dengar sebelumnya.


"Antum ndak ingat gimana ana mengandalkan antum. Apakah antum ndak memikirkan betapa sulitnya jadi ana?!" Karena Tuan Guru berhenti bicara, Ojan benar-benar berpikir, apa susahnya jadi tuan guru? Bukankah Tuhan sendiri menjamin hidupnya behagia dunia-akhirat? Rumahnya semewah ini, satu mobil serta tiga motor sudah terparkir di bagasi, keluar halaman rumah saja sudah disambut para santri, dan lebih lanjut, orang-orang akan patuh terhadap segala titiahnya, dan nabi sendiri berucap bahwa tuan guru adalah pewarisnya. Hingga tuan guru melanjutkan bicara, "Asal antum tahu saja Ojan, lamaran antum telah ana rencanakan untuk ana terima. Tapi sekarang hukum agama mengharamkan kalian bersatu." Mendengar itu, Ojan tertunduk menangis. Bukan mengis karena tekanan keadaan, melainkan karena ia telah mematahkan kepercayaan Tuan Guru atas Aziza. Tuan Guru benar-benar memandangnya sebagai orang suci. Ustadz-ustadz, dan bahkan sesama tuan guru yang raden pun tak masuk rencana berbahagia itu.


"Sekali lagi, apa antum ndak memikirkan betapa sulitnya jadi ana jika berita ini tersebar. Antum akan membunuh kepercayaan para santri beserta keluarganya terhadap ana. Kita harus menyembunyikan kehamilan ini, Ojan. Tetapi agama melarang kita berbuat demikian. Ana tidak ingin ikut berbuat dosa karena ulah antum dan Aziza. Ana tidak ingin menipu pelamar yang lain dengan menerima mereka sebagai tumbal atas nafsu binatang kalian."


Keadaan terus tegang dan gaduh, di luar terlihat para santri sudah berkumpul mendengar kegaduhan Tuan Guru, ada yang beristigfar berkali-kali, ada yang hanya tertunduk, ada yang berteriak "Rajam!", ada yang menangis, ada yang mengumpat, dan ada yang merekam kejadian itu barangkali sekadar untuk instasory, sebelum akhirnya dengan dingin dan gemetar Tuan Guru mengatakan, "Besok pagi kalian harus dirajam."
Ojan semakin menunduk, suhu ruangan itu terasa semakin meninggi, tak ada angin sepoi, AC hanya meniupkan sisa-sisa panas matahari yang seharian memanggang kepala. Dan hatinya mengatakan sesuatu kepada Aziza, "November ini tak turun hujan, Lale Aziza. Barangkali sebab kita. Barangkali sebab norma."


***


"Apakah tempat ini akan berhujan setelah ini, Ojan?"
"Seharusnya begitu."
"Apa yang membuatmu yakin?"
"Kau tahu perisaian?"
"Permanan tradisional itu?"
"Iya."
"Iya, aku tahu."
"Itu sudah cukup sebagai penjelasnya, Lale."
"Aku tidak terlalu paham aturan permainannya."
"Pada intinya, tetesan darah itu adalah mediasi memanggil hujan."
"Bagaimana mungkin kau bisa percaya itu, Ojan? Ini adalah hukum agama, sementara itu adalah tradisi."
"Ah, Aziza. Apakah kau bisa membedakan mana agama? Mana tradisi?"
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?"


"Lale ..." belum selesai Ojan bicara, sebuah batu sudah mendarat di keningnya. "Ojan ..." Aziza menangis melihat darah mulai menetes dari kening lelakinya itu. "Lihat, Aziza. Sekarang kita akan mati bersama. Seperti apa yang kamu harapkan dalam suratmu itu." Sekarang sebuah batu mendarat pada kepala Aziza. Ia meringis. Langit tetap saja menganga kebiruan walaupun darah telah keluar dari dua kepala di lapangan itu.


"Bedanya, tradisi itu dilakukan karena orang-orang yang suka dan rela, sedangkan agama dilakukan sebab orang-orang berdosa seperti kita, Jan."


 Batu-batu itu terus menghujani mereka. Akan ada seratus batu yang akan mendarat pada tubuh mereka yang diikat di lapangan itu. Hari ini mereka benar-benar dirajam. Tuan guru Raden memimpin hukum itu. Sebagian besar santri terlihat menikmatinya, lebih-lebih mereka yang sudah muak dengan kelakuan Ojan di kelas belakangan ini. Para santri itu seperti merayakan sebuah hari kemenangan di mana mereka berkuasa sepenuhnya untuk mengakhiri nasib ustadz dan anak Tuan Guru mereka.


Ini adalah kejadian pertama hukum rajam dijalankan di pesantren itu. Para santri yang terisolasi dari dunia luar, seperti mendapat sebuah hiburan.


"Lale, apa kau masih sadar?"


Aziza tak menjawab, ia hanya sedikit memicingkan matanya yang sudah berlumuran aliran darah. Ojan menangis. Ia mengingat kedua orang tua dan bagaimana ia berusaha keras mengubah nasibnya. "Ah, menjadi sia-sia saja usahaku selama ini. Orang-orang tidak akan mengenangku sebagai orang suci, melainkan akan mengenangku seperti ayah. Baiklah. Paling tidak aku beruntung, karena pastinya orang-orang akan menganggap perbuatanku wajar saja, mengingat ayah sendiri adalah seorang begajulan."


Matanya semakin sayu juga, Aziza di sampingnya sudah tak bersuara lagi. Barangkali ia sudah tak ada. Langit yang menganga itu, perlahan diatapi awan hitam. Keadaannya sudah berubah sekarang. "Lihat, Aziza. Apa yang aku katakan sepertinya benar." Tapi awan sepertinya sangat berat untuk berkumpul. Malahan langit sepertinya akan lapang lagi. "Ah, tapi lagi-lagi Lale. November ini tak turun hujan. Barangkali bukan sebab kita, tapi norma. Bukan hanya kita yang berdosa, Aziza. Bukan hanya kita."

Lombok Timur, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun