Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

November Ini Tak Turun Hujan

14 November 2023   21:18 Diperbarui: 14 November 2023   21:31 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Elgen


"Sekali lagi, apa antum ndak memikirkan betapa sulitnya jadi ana jika berita ini tersebar. Antum akan membunuh kepercayaan para santri beserta keluarganya terhadap ana. Kita harus menyembunyikan kehamilan ini, Ojan. Tetapi agama melarang kita berbuat demikian. Ana tidak ingin ikut berbuat dosa karena ulah antum dan Aziza. Ana tidak ingin menipu pelamar yang lain dengan menerima mereka sebagai tumbal atas nafsu binatang kalian."


Keadaan terus tegang dan gaduh, di luar terlihat para santri sudah berkumpul mendengar kegaduhan Tuan Guru, ada yang beristigfar berkali-kali, ada yang hanya tertunduk, ada yang berteriak "Rajam!", ada yang menangis, ada yang mengumpat, dan ada yang merekam kejadian itu barangkali sekadar untuk instasory, sebelum akhirnya dengan dingin dan gemetar Tuan Guru mengatakan, "Besok pagi kalian harus dirajam."
Ojan semakin menunduk, suhu ruangan itu terasa semakin meninggi, tak ada angin sepoi, AC hanya meniupkan sisa-sisa panas matahari yang seharian memanggang kepala. Dan hatinya mengatakan sesuatu kepada Aziza, "November ini tak turun hujan, Lale Aziza. Barangkali sebab kita. Barangkali sebab norma."


***


"Apakah tempat ini akan berhujan setelah ini, Ojan?"
"Seharusnya begitu."
"Apa yang membuatmu yakin?"
"Kau tahu perisaian?"
"Permanan tradisional itu?"
"Iya."
"Iya, aku tahu."
"Itu sudah cukup sebagai penjelasnya, Lale."
"Aku tidak terlalu paham aturan permainannya."
"Pada intinya, tetesan darah itu adalah mediasi memanggil hujan."
"Bagaimana mungkin kau bisa percaya itu, Ojan? Ini adalah hukum agama, sementara itu adalah tradisi."
"Ah, Aziza. Apakah kau bisa membedakan mana agama? Mana tradisi?"
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?"


"Lale ..." belum selesai Ojan bicara, sebuah batu sudah mendarat di keningnya. "Ojan ..." Aziza menangis melihat darah mulai menetes dari kening lelakinya itu. "Lihat, Aziza. Sekarang kita akan mati bersama. Seperti apa yang kamu harapkan dalam suratmu itu." Sekarang sebuah batu mendarat pada kepala Aziza. Ia meringis. Langit tetap saja menganga kebiruan walaupun darah telah keluar dari dua kepala di lapangan itu.


"Bedanya, tradisi itu dilakukan karena orang-orang yang suka dan rela, sedangkan agama dilakukan sebab orang-orang berdosa seperti kita, Jan."


 Batu-batu itu terus menghujani mereka. Akan ada seratus batu yang akan mendarat pada tubuh mereka yang diikat di lapangan itu. Hari ini mereka benar-benar dirajam. Tuan guru Raden memimpin hukum itu. Sebagian besar santri terlihat menikmatinya, lebih-lebih mereka yang sudah muak dengan kelakuan Ojan di kelas belakangan ini. Para santri itu seperti merayakan sebuah hari kemenangan di mana mereka berkuasa sepenuhnya untuk mengakhiri nasib ustadz dan anak Tuan Guru mereka.


Ini adalah kejadian pertama hukum rajam dijalankan di pesantren itu. Para santri yang terisolasi dari dunia luar, seperti mendapat sebuah hiburan.


"Lale, apa kau masih sadar?"


Aziza tak menjawab, ia hanya sedikit memicingkan matanya yang sudah berlumuran aliran darah. Ojan menangis. Ia mengingat kedua orang tua dan bagaimana ia berusaha keras mengubah nasibnya. "Ah, menjadi sia-sia saja usahaku selama ini. Orang-orang tidak akan mengenangku sebagai orang suci, melainkan akan mengenangku seperti ayah. Baiklah. Paling tidak aku beruntung, karena pastinya orang-orang akan menganggap perbuatanku wajar saja, mengingat ayah sendiri adalah seorang begajulan."


Matanya semakin sayu juga, Aziza di sampingnya sudah tak bersuara lagi. Barangkali ia sudah tak ada. Langit yang menganga itu, perlahan diatapi awan hitam. Keadaannya sudah berubah sekarang. "Lihat, Aziza. Apa yang aku katakan sepertinya benar." Tapi awan sepertinya sangat berat untuk berkumpul. Malahan langit sepertinya akan lapang lagi. "Ah, tapi lagi-lagi Lale. November ini tak turun hujan. Barangkali bukan sebab kita, tapi norma. Bukan hanya kita yang berdosa, Aziza. Bukan hanya kita."

Lombok Timur, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun