Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alasan-Alasan

30 Juni 2021   05:00 Diperbarui: 30 Juni 2021   05:01 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan-Alasan

Kumuh. Barangkali itu kata yang akan kau katakan pertama kali jika mengunjungi kampungku. Kumuh adalah kata sifat yang tidak hanya memberikan sifat dari kata itu, tapi juga menjadi sifat kampung dalam cerita ini. Agar bisa membicarakan kampung ini, ada baiknya saya menceritakan tentang kota Bersih.

Kota Bersih berada di selatan. Di sana, orang-orang alergi dengan segala macam kotoran. Tidak ada penduduknya yang merokok ataupun meludah sembarangan. Sampah-sampah dibuang pada tempatnya. Setiap toko menjual sabun antiseptik, bahkan pada toko bangunan sekalipun. Setiap orang akan meggunakan satu pakaian untuk satu hari, pakaian yang berumur satu bulan pasti dibuang. Dan yang paling penting, tidak ada warung-warung makan pinggir jalan. Segala hal serba higienis.

Sayangnya, penduduk kota Bersih tidak pernah bahagia, mereka selalu khawatir kalau-kalau penyakit menjangkiti hidupnya. Maka dari itu, wali kota membuat aturan jika ada yang mengalami gejala sakit ringan semisal flu harus segera di karantina. Setiap rumah dipasangi alaram darurat penyakit agar petugas kebersihan dapat dengan segera menanggulanginya. Juga tidak ada pohon ataupun tanaman lain, sebab wali kota memboikot segala jenis tanaman, sebab daunnya menyebabkan sampah yang tak perlu. Sampah daun tidak diperlukan untuk kesuburan, mengingat seluruh kota Bersih telah dilapisi kramik selain aspal, tentunya.

Setiap petang, truk sampah -yang tak seberapa- milik kota Bersih bergerak ke utara. Truk-truk itu berhenti di tepi sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Ada telaga yang tidak pernah berair di sana. Mereka akan membuang sampah di sana, dan anak-anak kampung akan senang memungut apa saja. Ingat, itu sampah milik kota Bersih, jadi sampah-sampah itu dianggap barang layak pakai yang masih bisa dimanfaatkan oleh orang kampung, paling tidak untuk memenuhi hasrat membuat mainan kreatif oleh anak-anak itu.

Orang-orang dewasa malahan mengarahkan anak-anaknya untuk menunggu setelah subuh, sambil berharap nanti pagi mereka pulang membawa sampah yang dapat digunakan sebagai perabot rumah. Semisal sendok, piring, kresek, ataupun tissue.

Aku adalah salah satu dari anak-anak itu. Sampah kota Bersih telah menjadikan perabot rumah kami lengkap. Bahkan kemarin ayah mengganti cat tembok rumah menggunakan cat yang juga kupungut dari telaga. Ya, jika tidak dari telaga, ayah tidak akan mampu melengkapi isi rumah, mengingat keluargaku tidak boleh disebut keluarga kaya. Ayah hanyalah penjual barang-barang rongsok dan ibu meninggal sewaktu melahirkan aku.

Kampung kami telah jadi penikmat sampah kota. Tapi sebagus-bagusnya sampah itu, sampah tetaplah sampah. Pakaian, alat-alat makan dan pekerjaan, mainan, bahkan perlengkapan ibadah kami menggunakan sampah. Rata-rata isi kampung ini orang tak mampu, maka sebagai penopang hidup, digunakannya sampah itu dalam kehidupan sehari-hari.

***

Subuh ini aku dan anak-anak kampung lainnya telah berada di telaga seperti biasa. Dua truk sampah telah tiba. Sampah-sampah ditumpahkan. Kami menyerbu tumpukan sampah itu bahkan sebelum truk itu bertolak. Supir truk pasti menegur kami agar tidak memungut sampah itu. Ah, supir itu pastilah orang kota Bersih juga. 

Di matanya, kami adalah anak-anak kumuh yang hanya tahu bermain dan menyimpan barang-barang rongsokan. Dia tidak tahu, bahwa sampah ini adalah kehidupan bagi kami. Sampah ini berarti pembuktian bakti kami kepada orang tua. Sampah ini berarti pasar rombengan sekaligus taman bermain tempat kami saling akrab dan mungkin akan kami kenang setelah dewasa di tempat-tempat paling jauh dari kampung sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun