Â
 "Tugas kamu mana?". Pertanyaan itu terdengar ringan. Tapi bagi sebagian anak, itu lebih berat dari ujian akhir semester. Beberapa hari lalu, saya membaca pernyataan di media sosial:
Pendidikan bukan soal menghafal, tapi menyentuh sisi manusiawi.
Kata-kata itu membuat saya terdiam cukup lama. Sebagai guru, saya seperti ditampar pelan. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk menagih tugas, tapi lupa menengok isi hati anak-anak itu.
Saya masih ingat pagi itu. Seorang siswa saya duduk dengan mata sayu di pojok kelas. Di tangannya tak ada buku. Di mejanya tak ada kertas tugas. Dan ketika saya tanya dengan suara pelan, ia hanya menggeleng. "Belum sempat, Pak," katanya. Lalu diam. Tidak membela diri. Tidak mencari alasan. Hanya sepasang mata yang menahan sesuatu yang lebih dari sekadar lupa.
Dulu, saya sering mengira bahwa siswa yang tak mengerjakan tugas itu malas. Atau manja. Atau kurang disiplin. Tapi semakin lama saya mengajar, semakin saya sadar: kadang yang terlihat sebagai kemalasan... sebenarnya adalah lelah yang sudah terlalu lama dipendam.
Satu tugas yang tak selesai bisa jadi adalah suara sunyi dari perjuangan yang tak terlihat.
Tapi ini bukan sekadar soal tugas yang tak dikerjakan... Ini tentang kita yang terlalu sibuk mencatat absen, sampai lupa menengok isi hatinya.
Ketika Tugas Tak Lagi Jadi Ukuran Semangat
Di balik satu lembar tugas kosong, sering kali ada cerita yang tak pernah sampai ke ruang guru. Kita melihat siswa tertidur di kelas, dan langsung menyimpulkan: begadang main game.
Menurut saya, inilah yang sering luput dalam sistem pendidikan kita: tidak semua anak berangkat dari titik start yang sama. Ketika satu siswa gagal mengerjakan tugas, itu belum tentu berarti dia gagal belajar.
Saya tidak sedang mencari-cari alasan. Saya hanya ingin kita jujur. Anak-anak datang ke sekolah bukan hanya membawa buku dan pensil. Mereka juga membawa beban hidup. Yang kadang terlalu berat untuk ditaruh di atas meja.
Rasa Lelah yang Tak Terlihat
Saya pernah menyaksikan seorang siswa menangis tanpa suara di belakang kelas. Namanya Rina. Ia dikenal rajin. Tapi pagi itu ia tak membawa tugas. Wajahnya pucat, matanya sembab.
"Aku tidak sanggup ngerjain, Pak... semalam ayahku pulang dalam keadaan mabuk. Rumah berantakan. Aku cuma bisa diam di kamar sambil tutup kuping."