Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Sepi, Negeri Penuh: Di Antara Krisis Keadilan dan Darurat Pendidikan

18 Juli 2025   07:25 Diperbarui: 18 Juli 2025   07:25 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik sekolah-sekolah negeri yang sesak hingga 50 siswa per kelas, ada sekolah swasta yang nyaris sepi, menunggu murid yang tak pernah datang. Pendidikan kita bukan sekadar darurat, tapi sedang kehilangan arah keadilannya.

Saat Kelas Kosong Menggema, dan Bangku Negeri Diperebutkan

Saya masih ingat betul wajah sumringah orang tua murid saat pengumuman hasil Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diumumkan. Seolah negeri ini menjanjikan sesuatu yang lebih pasti hanya karena status "negeri" melekat pada nama sekolah. Tapi di sisi lain, diam-diam, puluhan sekolah swasta sepi. Tak ada riuh ramai siswa baru, hanya sunyi di bangku-bangku kosong yang dulu penuh cita-cita.

Begitulah kenyataan yang sedang terjadi di banyak daerah, termasuk Jawa Barat. Tahun ajaran 2025/2026 dibuka dengan ironi: sekolah negeri membludak, bahkan hingga 50 siswa per kelas, sementara sekolah swasta memohon-mohon murid untuk sekadar bertahan.

Fenomena ini bukan sekadar soal teknis rombongan belajar. Ini tentang keadilan, pilihan, dan kegentingan masa depan pendidikan Indonesia.

Antara Tekanan Statistik dan Realitas Sosial

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Sekretaris Daerah Herman Suryatman, menyatakan bahwa penambahan jumlah siswa per kelas hingga 50 orang adalah bentuk respons terhadap darurat pendidikan. Ia menyebutkan bahwa ada sekitar 197 ribu anak terancam tidak melanjutkan pendidikan di tingkat menengah, dan penambahan kapasitas ini mampu menyelamatkan 43 ribu anak.

Secara hitungan makro, ini tampak heroik. Tapi di balik angka-angka itu, ada dampak sistemik yang luput dilihat. Ketika negeri diperluas, swasta terpinggirkan. Sekolah swasta, yang selama ini turut menanggung beban pendidikan nasional, kini justru ditinggalkan. Ironi, bukan?

Ketua Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat, Ade Hendriana, melaporkan bahwa keterisian kursi siswa di sekolah swasta hanya 20 - 30 persen. Bahkan, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dilakukan dengan jumlah siswa yang sangat minim. Padahal, Dapodik masih terbuka hingga 31 Agustus. Ini bukan sekadar keterlambatan, tapi potret kerapuhan sistemik.

Keadilan Pendidikan: Untuk Siapa?

Dalam dokumen kebijakan pendidikan, keadilan adalah kata kunci yang kerap muncul. Namun dalam praktiknya, keadilan sering kali berarti "yang mampu lebih cepat, yang miskin menunggu antre." Pemerintah memang berniat baik, tapi jika kebijakan menolong satu pihak dan meminggirkan pihak lain, apakah itu benar-benar adil?

Sekolah swasta bukanlah pesaing sekolah negeri. Mereka adalah mitra dalam ekosistem pendidikan. Ketika negeri membengkak dan swasta merana, sesungguhnya sistem itu sendiri sedang tidak seimbang.

Bukankah lebih adil jika anak-anak yang tidak tertampung di negeri disalurkan ke sekolah swasta dengan subsidi silang atau voucher pendidikan yang adil? Bukankah akan lebih kuat jika kita membangun kolaborasi alih-alih kompetisi antara dua jenis lembaga pendidikan ini?

Beban Ganda di Sekolah Negeri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun