Di balik sekolah-sekolah negeri yang sesak hingga 50 siswa per kelas, ada sekolah swasta yang nyaris sepi, menunggu murid yang tak pernah datang. Pendidikan kita bukan sekadar darurat, tapi sedang kehilangan arah keadilannya.
Saat Kelas Kosong Menggema, dan Bangku Negeri Diperebutkan
Saya masih ingat betul wajah sumringah orang tua murid saat pengumuman hasil Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diumumkan. Seolah negeri ini menjanjikan sesuatu yang lebih pasti hanya karena status "negeri" melekat pada nama sekolah. Tapi di sisi lain, diam-diam, puluhan sekolah swasta sepi. Tak ada riuh ramai siswa baru, hanya sunyi di bangku-bangku kosong yang dulu penuh cita-cita.
Begitulah kenyataan yang sedang terjadi di banyak daerah, termasuk Jawa Barat. Tahun ajaran 2025/2026 dibuka dengan ironi: sekolah negeri membludak, bahkan hingga 50 siswa per kelas, sementara sekolah swasta memohon-mohon murid untuk sekadar bertahan.
Fenomena ini bukan sekadar soal teknis rombongan belajar. Ini tentang keadilan, pilihan, dan kegentingan masa depan pendidikan Indonesia.
Antara Tekanan Statistik dan Realitas Sosial
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Sekretaris Daerah Herman Suryatman, menyatakan bahwa penambahan jumlah siswa per kelas hingga 50 orang adalah bentuk respons terhadap darurat pendidikan. Ia menyebutkan bahwa ada sekitar 197 ribu anak terancam tidak melanjutkan pendidikan di tingkat menengah, dan penambahan kapasitas ini mampu menyelamatkan 43 ribu anak.
Secara hitungan makro, ini tampak heroik. Tapi di balik angka-angka itu, ada dampak sistemik yang luput dilihat. Ketika negeri diperluas, swasta terpinggirkan. Sekolah swasta, yang selama ini turut menanggung beban pendidikan nasional, kini justru ditinggalkan. Ironi, bukan?
Ketua Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat, Ade Hendriana, melaporkan bahwa keterisian kursi siswa di sekolah swasta hanya 20 - 30 persen. Bahkan, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dilakukan dengan jumlah siswa yang sangat minim. Padahal, Dapodik masih terbuka hingga 31 Agustus. Ini bukan sekadar keterlambatan, tapi potret kerapuhan sistemik.
Keadilan Pendidikan: Untuk Siapa?
Dalam dokumen kebijakan pendidikan, keadilan adalah kata kunci yang kerap muncul. Namun dalam praktiknya, keadilan sering kali berarti "yang mampu lebih cepat, yang miskin menunggu antre." Pemerintah memang berniat baik, tapi jika kebijakan menolong satu pihak dan meminggirkan pihak lain, apakah itu benar-benar adil?
Sekolah swasta bukanlah pesaing sekolah negeri. Mereka adalah mitra dalam ekosistem pendidikan. Ketika negeri membengkak dan swasta merana, sesungguhnya sistem itu sendiri sedang tidak seimbang.
Bukankah lebih adil jika anak-anak yang tidak tertampung di negeri disalurkan ke sekolah swasta dengan subsidi silang atau voucher pendidikan yang adil? Bukankah akan lebih kuat jika kita membangun kolaborasi alih-alih kompetisi antara dua jenis lembaga pendidikan ini?