Beberapa hari terakhir, jagat pemberitaan kembali riuh. Pemerintah mencoret 8,26 juta peserta BPJS Kesehatan dari skema Penerima Bantuan Iuran (PBI). (Kompas.com, 27/07/2025).Â
Sebuah angka yang besar bukan hanya di atas kertas, tapi juga dalam kenyataan. Di balik setiap angka itu, ada wajah-wajah tua yang rutin memeriksakan tekanan darah, ibu menyusui yang baru pulih pasca melahirkan, dan pekerja serabutan yang menggantungkan hidupnya pada sistem jaminan sosial.
Yang mengejutkan, sebagian dari mereka baru sadar namanya hilang saat hendak berobat. Saat pintu layanan ditutup, saat status mereka tak lagi ditemukan di sistem. Â Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Dan lebih penting lagi: pelajaran apa yang bisa kita petik dari peristiwa ini sebagai warga negara yang hidup di dalam sistem jaminan sosial yang katanya "untuk semua"?
Kesehatan Memang Hak, Tapi Tak Hadir Sendiri
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa kesehatan adalah hak dasar. Tapi hidup di negara berkembang membuat kita sadar: hak tak selalu hadir secara otomatis. Ia tidak datang seperti air di kran. Kadang hak harus dicari, dirawat, bahkan diperjuangkan dari balik antrean puskesmas hingga layar situs BPJS yang tak kunjung memuat.
Pencoretan peserta PBI menjadi cermin bahwa hak bisa hilang tanpa aba-aba. Tanpa pemberitahuan. Tanpa peringatan. Jika hak bisa lenyap tanpa kita sadari, masihkah kita menyebutnya hak?
Menjaga hak berarti menjaga kesadaran. Bukan sekadar soal tahu hak apa yang kita punya, tapi juga bagaimana sistem itu bekerja dan bagaimana kelalaian kecil bisa membuat kita tergelincir keluar dari sistem.
Hak bukan semata-mata pemberian negara. Ia hasil kontrak sosial, lahir dari partisipasi warga dan tanggung jawab negara. Dan jika kita abai, maka hak itu bisa dikikis pelan-pelan, hingga tak tersisa apa-apa selain berita buruk di headline.
Sistem Sosial Itu Dinamis, Bukan Abadi
Ada asumsi lama yang hidup di kepala kita: sekali terdaftar di BPJS, berarti aman selamanya. Nyatanya tidak. Sistem jaminan sosial bukanlah bangunan kokoh yang kebal dari tekanan anggaran, revisi kebijakan, dan tafsir ulang terhadap data.
Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi dasar pemerintah mengevaluasi siapa yang masih berhak mendapatkan subsidi. Tapi dalam sistem yang sangat tergantung pada data dan sinkronisasi antar-instansi, celah kesalahan selalu terbuka. Satu data NIK yang belum diperbarui bisa berujung pada penghapusan status.
Negara memang hadir, tapi kadang sibuk menata ulang dirinya sendiri. Maka kita pun dituntut untuk tidak pasif. Literasi sosial kita harus tumbuh. Kita perlu memantau, menyesuaikan, bahkan mengantisipasi logika sistem.
Di titik ini, kita perlu mengganti pola pikir: dari "mengandalkan negara" menjadi "bermitra dengan negara." Dan sebagai mitra, kita perlu aktif, cerdas, dan sadar bahwa sistem bukan makhluk hidup. Ia hanya bergerak sejauh dorongan kita bersama.