Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bukan Sekadar Beras Oplosan: Ketika Kejujuran dalam Pangan Menjadi Barang Langka

13 Juli 2025   18:55 Diperbarui: 13 Juli 2025   18:55 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Pemerintah harus bertindak lebih cepat dan tegas. Penegakan hukum bukan hanya tentang menangkap pelaku, tapi juga mencegah praktik serupa muncul kembali. Penguatan sistem pengawasan dan transparansi distribusi harus menjadi prioritas.

Negara tidak boleh hanya hadir ketika kerusakan sudah terjadi. Negara harus hadir dalam diam-diam yang melindungi, dalam senyap yang menjamin: bahwa tidak ada yang boleh bermain-main dengan pangan rakyat.

c. Peran DPR dan Media

DPR harus lebih dari sekadar bersuara. Ia harus menjadi pelopor legislasi dan pengawasan. Sementara media memiliki peran penting sebagai pengawas sosial yang menyuarakan fakta, bukan hanya sensasi. Media adalah jendela nurani kolektif; jika kabur, maka kaburlah arah bangsa.

Refleksi: Bukan Hanya Soal Makanan, Tapi Soal Martabat

Beras oplosan adalah metafora dari luka yang lebih dalam: bahwa dalam sistem ini, kejujuran bisa dikalahkan oleh keuntungan. Dan jika kita diam, kita sedang membiarkan martabat kita dijual murah.

Di negeri yang subur ini, beras adalah simbol kehangatan, penghidupan, dan kebersamaan. Namun ketika ia dioplos, maka yang dikoyak bukan hanya tubuh rakyat, tapi juga jiwa kebangsaan.

Dalam setiap butir beras, ada cerita panjang tentang petani, distribusi, dan niat baik. Tapi jika cerita itu dicemari oleh kepalsuan, maka yang kita makan bukan hanya nasi, tapi juga ketidakadilan. Dan ketidakadilan yang ditelan perlahan, lama-lama mematikan rasa.

Penutup

"Beras oplosan" bukan hanya soal makanan yang kita telan. Ia adalah cermin sistem yang mulai retak dari dalam. Jika beras saja bisa diakali, apa lagi yang tidak? Saatnya kita berhenti diam, karena jika kita membiarkan kejujuran menjadi langka di pasar, kita sedang menggadaikan masa depan.

Karena ketika kita tidak lagi bisa mempercayai apa yang kita makan, itu tandanya kita telah kehilangan lebih dari sekadar rasa. Kita telah kehilangan arah. Maka jangan hanya berpikir apa yang masuk ke perutmu, pikirkan juga apa yang sedang merusak jiwamu sebagai warga bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun