Beras oplosan bukan hanya perkara kualitas makanan. Ia adalah tanda bahaya dari sistem distribusi pangan yang sedang sakit. Ketika makanan pokok rakyat dimanipulasi, pertanyaannya bukan lagi "apa yang kita makan", tapi "siapa yang sedang bermain dalam hidup kita?" Sebab, yang dipalsukan bukan hanya beras, tapi juga nurani.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Beberapa waktu terakhir, publik kembali digegerkan oleh temuan beras oplosan di pasaran. Kasus ini menyusul terbongkarnya praktik BBM oplosan yang sempat menjadi perhatian nasional. Kini, beras dilaporkan mengalami praktik serupa: dicampur bahan lain demi menekan biaya dan meraih keuntungan lebih besar.
Pimpinan DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, mengecam keras kejadian ini. Ia menyebut praktik beras oplosan sebagai bom waktu yang bisa menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem distribusi pangan nasional. Tapi lebih dari itu, ini adalah ledakan sunyi dari kebusukan yang dibiarkan membusuk terlalu lama. (Kompas, 13/07/2025)
Di Balik Kasus Beras Oplosan: Ada Apa dengan Sistem Kita?
Fenomena beras oplosan bukan insiden tunggal. Ia adalah gejala dari sesuatu yang lebih besar: lemahnya sistem pengawasan distribusi pangan kita. Dari hulu ke hilir, ada banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha tak bertanggung jawab. Regulasi yang lemah, kurangnya transparansi dalam jalur distribusi, serta minimnya kontrol dari lembaga berwenang membuat praktik curang seperti ini bisa lolos dari pantauan.
Pangan adalah urusan hidup-mati rakyat. Jika distribusi bahan pokok saja bisa dimanipulasi, maka sistem itu sedang menghadapi krisis kepercayaan. Lebih jauh lagi, kita sedang menyaksikan degradasi nilai ketika kebutuhan perut menyingkirkan keberpihakan pada kebenaran.
Bukan Kasus Pertama, Tapi Alarm Lama yang Terabaikan
Kita pernah menyaksikan praktik serupa: dari susu formula palsu, daging glonggongan, hingga BBM oplosan. Semua itu bukan kejadian acak, melainkan pola dari satu akar persoalan: krisis kejujuran dan integritas dalam sistem distribusi.
Dalam setiap peristiwa itu, yang jadi korban bukan hanya pembeli, tapi juga martabat bangsa. Konsumen mulai bertanya-tanya, sejauh mana negara melindungi hak dasarnya untuk mendapatkan makanan yang aman dan layak? Sejauh mana hukum mampu menyentuh yang kuat, bukan sekadar yang kecil?
Apa Dampaknya bagi Kita?
Dampaknya luas dan merambat. Secara ekonomi, masyarakat membayar harga yang tak sepadan untuk kualitas yang menurun. Secara kesehatan, beras oplosan yang tidak memenuhi standar bisa menimbulkan efek jangka panjang. Secara sosial, ada rasa cemas dan kehilangan kepercayaan terhadap produk dalam negeri.
Namun dampak terdalam justru bersifat batiniah: keraguan yang tumbuh dalam hati rakyat terhadap apa yang mereka makan. Sebab ketika kita ragu pada sebutir nasi yang kita telan, kita sedang goyah dari hal paling mendasar sebagai bangsa: rasa aman, rasa percaya, rasa tenteram.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
a. Peran Masyarakat
Kita, sebagai konsumen, tidak bisa lagi pasif. Edukasi adalah kunci. Kita perlu belajar membedakan kualitas beras, membaca label, dan tak ragu melapor jika menemukan kejanggalan. Kesadaran publik adalah tembok pertama terhadap praktik kecurangan. Tapi lebih dari itu, kita juga harus berani menjaga moral kolektif: bahwa kejujuran tidak bisa ditawar.