Aku masih ingat jelas satu siang di ruang kelas yang seharusnya biasa-biasa saja. Matahari menyusup lewat kisi-kisi jendela, menari di permukaan papan tulis yang penuh coretan rumus. Udara terasa pengap, bukan hanya karena panas yang menekan, tapi karena ada sesuatu yang tidak terlihat—sesak yang menggantung di atmosfer kelas.
Di bangku belakang, seorang siswa menunduk. Isaknya pelan, nyaris tak terdengar, seperti berusaha tak mengganggu dunia yang terus berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Tapi tidak lama kemudian, suara itu hilang. Bukan karena tangisnya mereda, bukan karena luka hatinya sembuh. Tapi karena ada kalimat yang lebih nyaring darinya:
"Ayo dong, jangan nangis. Harus tetap semangat!"
Kalimat itu meluncur ringan, mungkin dengan niat baik, dari seorang teman sekelas yang terbiasa mengaitkan semangat dengan solusi. Tak lama kemudian, guru pun menimpali, "Kita semua punya masalah, tapi kita harus tetap berpikir positif."
Dan seperti itu, tangis itu berhenti. Tapi bukan karena pelukannya tiba, atau karena luka itu diberi ruang. Bukan karena dipahami, melainkan karena ditelan oleh keheningan yang dipaksakan. Ditekan oleh budaya yang tak memberi tempat untuk air mata, tak sabar untuk mendengarkan duka, dan terlalu terburu-buru menawarkan senyum padahal yang dibutuhkan adalah pengakuan atas luka.
Ini Bukan Sekadar Tentang Nangis di Kelas
Kita sering kali terburu-buru menambal luka dengan kalimat yang tampak cerah. Seolah dengan berkata "kamu kuat kok" atau "jangan sedih ya," semuanya akan baik-baik saja. Tapi, apa iya?
Di kelas - tempat yang harusnya jadi ruang aman bagi suara-suara kecil dan rapuh - kita justru seringkali terlalu cepat menyuruh orang untuk tenang. Padahal, siapa tahu gaduh di dalam kepala mereka sedang butuh didengarkan.
Aku tidak bilang bahwa berpikir positif itu buruk. Tapi ketika itu jadi satu-satunya pilihan yang ditawarkan, kita sedang memotong akses seseorang terhadap validasi perasaan mereka sendiri.
Kadang, kita hanya butuh diakui bahwa, "Iya, kamu memang sedang sedih. Dan itu nggak apa-apa."
Toxic Positivity: Ketika Positif Jadi Racun
“Toxic positivity” adalah istilah yang muncul dari kebiasaan memaksa diri—atau memaksa orang lain—untuk selalu berpikir positif, bahkan ketika kondisi yang dihadapi jelas-jelas menyakitkan dan berat. Di permukaan, ini terdengar seperti dorongan yang baik: agar kita tidak larut dalam kesedihan atau kegagalan. Tapi, bayangkan ini:
Seorang siswa baru saja gagal ujian. Seharusnya, dia diberi ruang untuk kecewa, untuk merasakan apa pun yang sedang terjadi dalam dirinya. Namun, ia malah langsung dituntut untuk segera bangkit dan tersenyum. “Nggak usah sedih, masih banyak kesempatan.”