"Bahasa adalah jantung kebudayaan. Ketika ia berhenti berdetak, peradaban juga mulai kehilangan denyutnya."
Dalam artikel yang sama, Prof. Hendrokumoro menekankan bahwa kehilangan bahasa lokal berarti juga kehilangan kearifan lokal.
Pernytaan Prof. Hendrokumoro betul sekali. Dalam satu kata Jawa bisa tersimpan filosofi hidup. Dalam satu ungkapan Bugis bisa terkandung nilai moral dan tatanan sosial. Ketika kita tidak lagi mewarisi bahasa itu, kita bukan hanya kehilangan kosakata, tapi kehilangan cara memandang dunia.
Keseharian yang Tak Lagi Berbahasa Daerah
Coba tengok sekeliling kita. Di rumah-rumah urban, orang tua lebih memilih berbicara kepada anaknya dalam Bahasa Indonesia.Â
Di sekolah, kurikulum muatan lokal bahasa daerah seringkali menjadi pelajaran yang tidak dianggap penting.Â
Di media sosial, ekspresi anak muda lebih sering dalam Bahasa Indonesia gaul atau bahkan campuran dengan Bahasa Inggris.
Sebagai guru, saya pun menyaksikan pergeseran ini dari tahun ke tahun. Dulu, masih ada siswa yang suka menyelipkan kosakata daerah ketika bercanda. Sekarang? Kalaupun ada, itu terdengar seperti lelucon atau "bahasa kuno" yang diparodikan.
"Yang diparodikan hari ini, bisa jadi hanya akan dikenang dalam museum esok hari."
Ini bukan hanya masalah budaya. Ini masalah keberlanjutan identitas. Bahasa adalah bagian dari cara kita memahami diri kita sendiri. Ketika generasi muda tak lagi merasa perlu menggunakan bahasa leluhurnya, lama-lama ia akan menjadi bahasa asing di rumah sendiri.
Apa yang Tidak Dikatakan Tentang Kemunduran Ini
Sering kali kita berpikir bahwa selama bahasa daerah masih diajarkan di sekolah atau dilestarikan lewat lomba-lomba pidato, semuanya akan baik-baik saja.Â
Padahal, pelestarian bahasa tidak cukup hanya lewat kurikulum. Bahasa harus hidup di ruang sehari-hari. Di obrolan dapur. Di cerita menjelang tidur. Di candaan antar teman. Di kata-kata sayang dan marah orang tua.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!