"Bahasa tidak dilestarikan di atas panggung. Ia hidup dan bertahan justru di ruang-ruang paling intim: rumah dan hati."
Kita juga tidak banyak membicarakan bagaimana urbanisasi, migrasi, dan tekanan ekonomi mendorong keluarga meninggalkan bahasa daerah demi "survival" sosial. Menggunakan bahasa nasional atau bahkan internasional dipandang lebih bergengsi, lebih menjanjikan masa depan.
Dalam dunia yang makin kompetitif, bahasa daerah seringkali dianggap beban. Ironis, bukan?
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Keresahan Ini
Ketika saya mendengar kekhawatiran dari Profesor Hendrokumoro dan Pakar Bahasa Jawa di Universitas Diponegoro (Undip), Ken Widyawati, saya merasa ini bukan semata-mata tentang nostalgia. Ini adalah peringatan dini. Dan kita tidak bisa lagi menutup telinga.
Mungkin kita perlu mengubah pendekatan. Bahasa daerah tidak bisa hanya diturunkan sebagai "warisan." Ia harus dijadikan bagian dari identitas yang keren.Â
Coba lihat bagaimana anak muda Korea, Jepang, atau India tetap bangga berbicara dengan bahasa ibunya bahkan ketika mereka juga menguasai bahasa Inggris dengan fasih.
Mereka tidak merasa rendah diri. Mereka tidak merasa "ndeso." Justru bahasa lokal menjadi penanda keunikan dan kekayaan.
"Ketika identitas menjadi nilai jual, bahasa daerah bukan penghambat, tapi pembeda yang berharga."
Begini Cara Agar Bahasa Daerah Tak Hanya Jadi Kenangan
Kita tidak bisa berharap pemerintah saja yang melestarikan bahasa daerah. Perubahan harus dimulai dari rumah, dari sekolah, dari komunitas.
Melestarikan bahasa daerah tak harus dimulai dengan proyek besar. Cukup satu kalimat di rumah, satu unggahan di media sosial, satu lagu dalam bahasa ibu dan kita sudah memberi napas pada warisan yang nyaris padam.
"Kalau generasi muda tak bisa mencintai bahasa daerah seperti dulu, maka tugas kita adalah membuat mereka mencintainya dengan cara baru."