Mohon tunggu...
Amri MujiHastuti
Amri MujiHastuti Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan Sekolah Dasar

Pengajar, Ibu, pemerhati pendidikan anak

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Gendis Sugar", Janji yang Tak Ditepati

9 Maret 2019   07:44 Diperbarui: 9 Maret 2019   07:52 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bab 3

Sugara tahu Gendis gadis yang cerdas. Dia semakin menyadarinya ketika  Pramana  berkata bahwa Gendis mengirimi Sugara sebuah surat yang dikirim ke alamat Pramana. 

Saat orang tuanya mengajak Sugara berkunjung ke sana, Sugara mendapatkan surat itu dan dengan hati yang berdegup cepat -- cepat membaca surat itu.

 Terima kasih, Gendis karena tak membiarkan kami kehilanganmu begitu saja, batinnya.


Untuk Sugarku yang paling baik,
Apa kau masih ingat padaku? Kau bilang kau memberikan kudamu padaku dan sejak saat itu kita mempunyai hubungan istimewa. Setiapkali aku bersedih aku akan menghadirkan dalam pikiranku tentang kenanganmu dan itu membuatku merasa lebih baik.Aku hancur saat orang tuaku dan mbak Sekar meninggalkanku dan kali ini untuk selamanya. Aku mengirimkan surat ini untuk yang terakhir kalinya karena aku ingin mengucapkan selamat tinggal padamu. Kau adalah sahabatku selamanya. Maafkan aku karena aku takkan pernah lagi kembali ke rumah di kaki gunung itu.Sampaikan salamku pada orang tuamu, mereka orang yang sangat baik padaku dan keluargaku.
Sahabatmu Gendis.


Sugara melipat surat dari gadis kecil itu. Sejak saat itu dia bertekad akan menemukan Gendis dan menjaganya selamanya karena Gendis sudah tak punya orang tua lagi dan Gendis percaya padanya.


Gendis juga menulis dengan lengkap alamatnya di Solo. Malam itu juga di rumah di kaki gunung yang banyak menyimpan kenangan masa kecil mereka, Sugara membalas surat Gendis.


Gendisku yang termanis,
Aku sangat senang menerima kabar darimu. Aku sangat takut bahwa aku takkan pernah bertemu lagi denganmu. Sekarang karena kau sudah mengirimkan surat padaku, aku yakin kita pasti akan segera bertemu lagi. Ngomong -- ngomong, apakah kau betah tinggal di tempat barumu? Kabari aku tentang keadaanmu dan tentaang mas Bayu juga.Aku harus meminta maaf padamu karena aku tak bisa ada di samping sahabatku saat kedua orang tuamu dan mbak Sekar tiada. Kamu harus ikhlaskan mereka, aku tahu kamu gadis yang kuat dan sholeha.
Salam rindu persahabatan, Sugarmu.


Sejak saat itu mereka selalu saling membalas surat selama bertahun -- tahun hingga masa dewasa mereka. Lucunya, mereka tak pernah bertemu. Hanya melalui surat mereka masih merasa saling memiliki sebagai sahabat dan itu cukup.


Sugara bercerita pada Gendis tentang rahasia hidupnya tentang identitas orang tua kandungnya. Mereka selalu saling bercerita lewat pena tentang hari -- hari yang mereka alami masing -- masing. 

Hingga suatu hari Gendis bercerita bahwa Bayu marah saat mengetahui Gendis berhubungan dengan Sugara melalui surat -- surat yang saling mereka kirim lewat kantor pos.


Sugar, aku tak pernah melihat mas Bayu semarah saat itu. Dia merobek semua surat -- suratmu yang kau kirimkan padaku. Dia memintaku tak mengirimimu surat lagi. Dia memintaku tak berhubungan lagi denganmu. Apa kau tahu bahwa sebenarnya orang tuaku tak menjual rumah di kaki gunung itu pada orang tuamu? Mereka hanya meminjam uang dari om Riko, ayah kandungmu melalui om Pramana. Mas Bayu bilang selama mama dan papaku di luar negeri mereka selalu rutin mengangsur pinjaman mereka dan mentransfernya langsung ke rekening papamu, Papa Riko.


Itu adalah surat terakhir yang dikirimkan Gendis padanya dan Sugara tak pernah lagi membalasnya. Tak perlu waktu lama bagi Sugara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat Sugara menyimak perdebatan yang kesekian kali antara papa Endriko dan bapaknya Pramana satu hari di ruang tengah di rumah kaki gunung. 

Sugara melihat dari lubang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah. Pramana mencengkeram krah baju abangnya. Jika istrinya Halimah tak memegangi bahunya, pasti sudah dihempaskannya tubuh saudaranya itu.


"Kau pencuri tak tahu diri!" katanya dengan suara yang melemah setelah berdebat lebih dari satu jam dengan satu -- satunya saudara kandungnya itu. Mereka berdebat tentang rumah di kaki gunung milik keluarga mendiang Yahya sahabat yang telah mereka berdua kenal sejak kecil. 

Sudah sejak mendengar kabar meninggalnya Yahya dan istrinya serta salah satu putrinya dalam kecelakaan pesawat, Pramana ingin mengembalikan hak milik tanah dan rumah itu pada ahli warisnya.


Apalagi selama Yahya dan istrinya tinggal di luar negeri setiap bulan mereka selalu mentransfer uang untuk melunasi pinjamannya. Pramana ingin menganggapnya lunas namun belum juga dia dapat menemukan Bayu dan Gendis, abangnya Endriko telah menjualnya pada proyek pembangunan hotel yang dibangun di dekat tanah milik keluarga Yahya. 

Pramana juga tak mengerti bagaimana surat hak milik itu ada di tangan Endriko, abangnya. Pramana menduga abangnya itu mengambil surat itu begitu saja dari lemari penyimpanannya sebab dia merasa dana yang dulu dipinjamkan pada keluarga Yahya sebagian adalah miliknya.


"Sudahlah, Pram. Aku sudah bertahun -- tahun bersabar tentang masalah ini, tapi sekarang tidak lagi. Aku sedang  sangat butuh uang untuk pengobatan penyakit Eveline.  Beberapa tender yang harusnya kami menangkan direbut pesaing kami. Aku sudah hampir bangkrut." kata Endriko berusaha membuat adiknya mengerti kesulitannya.


"Tapi tempat itu bukan milik kita."


"Lalu milik siapa? Kita mengeluarkan uang sangat banyak untuk membantu Yahya."


"Uang yang sudah dia kembalikan.."


"Berapa yang dia kembalikan, Pram? Jika uang yang kita pinjamkan untuk menutup hutang -- hutangnya kita pakai investasi, bayangkan berapa banyak keuntungan yang kita dapatkan. Tapi kita meminjamkannya karena dia teman kita. Itu tidak adil buat kita."


"Yang kau lakukan sekarang tidak adil kepada dua anak yatim piatu yang memiliki tempat ini."


"Mereka bahkan tak berani berfikir tempat ini milik mereka."


"Itulah kenapa Yahya meminjam kepada kita, karena dia percaya kita akan berlaku adil dan mengembalikan semua miliknya, karena kita temannya."


"Nah, begini saja Pram...kita akan mencari Gendis dan Bayu. Kalau ketemu aku akan menjodohkannya...siapa gadis itu...si Gendis dengan salah satu anakku jika dia setuju. Jika dia setuju dia akan mengerti kesulitanku dan takkan bicara seperti kau bicara padaku seolah aku mencuri sesuatu yang bukan milikku. Aku telah mengeluarkan uang sangat banyak untuk membantu mereka, mengerti? Jadi kita akan membicarakannya secara kekeluargaan. Aku akan membicarakannya secara kekeluargaan dengan gadis itu, anak menantuku itu.... " 

Endriko duduk di kursi berlengan di tengah ruangan. Pramana dan istrinya memandangnya dengan tatapan tak percaya mendengar bagaimana Endriko memandang semua masalah ini.


"Kau sangat egois kau tahu?" Pramana memandang laki -- laki di hadapannya dengan pandangan jijik.


"Kurasa sangat kecil kemungkinannya gadis itu akan muncul di depan pintu rumahku, kau tahu? Abangnya sudah mengurusnya dengan baik, kurasa. Dia bahkan tak meninggalkan nomor telepon yang bisa kuhubungi, benar -- benar tak tahu adab setelah aku menampung adiknya selama berbulan -- bulan."


"Dia juga tak pernah merasa perlu mencariku karena aku tak berhutang apa -- apa pada mereka. Justru sebaliknya mereka berhutang budi padaku. Aku sangat prihatin dengan apa yang menimpa Yahya dan istrinya dan putri mereka, aku ikhlas membantu. Tapi setelah semua itu, apa aku tak boleh memikirkan kepentinganku sendiri. Lihat bagaimana kalian berdua memojokkanku setelah semua yang kulakukan untuk membantu Yahya dan keluarganya". 

"Aku akan bicara baik -- baik pada gadis itu dan berhentilah merecokiku, kalian berdua."


"Benarkah kau merasa semua ini sudah tepat, kau mengambil apa yang hanya dititipkan padamu? Bagaimana kalau Bayu dan Gendis benar -- benar muncul?". 

"Kau akan bicara baik -- baik bagaimana? Kau akan bilang bahwa kau menghitung semua biaya hidup Gendis saat tinggal denganmu sebagai hutang dan biaya rumah sakit kakaknya dan bahwa dengan memberikan rumah mereka hutang mereka terlunasi?" Pramana bertanya dengan sinis.


 "Stop, Pram. Kau juga bersalah. Kita semua bersalah kalau kau anggap begitu.Jangan pikir aku tak tahu bahwa Sugara dan Gendis sempat saling berkirim surat. Kau tahu alamatnya tapi kenapa tak kau bawa mereka pulang ke rumah?" tanya Endriko tajam.

 "Kita sama -- sama punya kepentingan. Sudah cukup bertahun -- tahun kau tinggal di tanah dan rumah yang kau anggap bukan milikmu itu. Apapun katamu aku akan menjualnya." kata Riko menutup pembicaraan.


Sugara yang mendengar percakapan itu tak bisa berbuat apa -- apa. Dia tak bisa menjelaskan pada Gendis bahwa tuduhannya pada keluarganya salah sebab semua yang dituduhkan Bayu pada keluarganya adalah benar.

 Sekarang yang terbaik adalah dia menjauhi Gendis dan mereka tak perlu lagi saling berkirim surat sebagai teman, sahabat, teman berdiskusi dan berbagi cerita, saling menyemangati atau apapun juga. Semua itu tak mungkin lagi dilakukan. 

Sugara merasa dia yang keluarganya telah berbuat curang pada Gendis. Dia tak pantas menjadi sahabat bagi Gendis.


Sugara juga tak mungkin meminta pada papa kandungnya, Endriko untuk mengurungkan niatnya. Sugara tak bisa meminta pada papanya itu sebab hubungannya dengan Endriko masih sangat berjarak. 

Sugara sering terombang -- ambing memikirkan siapa yang dulu sewaktu dia bayi mempunyai ide untuk menitipkannya pada Pramana dan Halimah. Apakah itu papa atau mama kandungnya. Sugara selalu merasa tersiksa dengan pikiran itu meskipun semenjak dia tinggal dengan orang tuanya Sugara hanya diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan cinta. Sugara hanya mampu memaafkannya namun tak sanggup melupakannya. Dia tak dendam, hanya merasa nyeri di hatinya.


Seandainya kelak dia menjadi seorang ayah, dia takkan melepaskan anak -- anaknya untuk alasan apapun. Seorang anak tak hanya memerlukan materi, namun memerlukan perlindungan, kasih sayang, penerimaan, dan cinta dari orang tua yang menghadirkannya ke dunia. 

Sugara sungguh tak bisa membayangkan bagaimana malangnya nasib anak -- anak yang tak diindahkaan oleh orang tuanya sendiri, alangkah malangnya nasib mereka.


Sugara kembali memikirkan Gendis yang selalu membuatnya tertawa. Gendis sejak kecil tak pernah menertawakannya, atau memandang aneh ke arahnya karena perbedaannya. Dengan Gendis, Sugara merasa dia normal dan diterima bahkan dihargai semua kelemahan, kekurangan, ataupun kebodohannya. Gendis selalu mengerti. 

Namun sekarang Sugara harus berhenti bergantung pada Gendis untuk semua perasaan itu. Dan yah dia sudah tak memiliki tanda lahir itu lagi, dan orang tuanya telah membawanya pulang. Pramana dan Halimah juga masih selalu menunjukkan kasih sayang yang sama tiap bertemu dengannya. 

Mungkin dia bisa hidup tanpa ada Gendis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun