Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persatuan Bangsa Ini, Tanggung Jawab Bersama atau Urusan Segelintir Orang Saja?

28 Desember 2018   08:10 Diperbarui: 28 Desember 2018   08:34 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Globalisasi dunia dalam semua aspek kehidupan masyarakat memang tidak mungkin bisa dibendung oleh siapapun, termasuk globalisasi dalam bidang informasi. Perkembangan konflik internal di suatu negara dengan  cepatnya langsung menyebar dan dapat mempengaruhi kadar nasionalisme kebangsaan individu rakyat di-negara lainnya. 
Sebagai contoh,  berita penindasan terhadap kelompok etnis minoritas "tertentu" di luar negeri dalam hitungan detik sudah berhasil menyebarkan solidaritas emosi-nya ke se-antero dunia. Begitu dahsyat dampaknya. Begitu juga yang terjadi dengan isu lokal didalam negeri kita ini. Isu sensitif yang dianggap menarik secara global, juga tidak bisa dicegah akhirnya menjadi konsumsi "diskusi" dibelahan dunia lainnya. 
Seakan sudah tidak ada sekat pembatas informasi antar negara lagi. Reputasi pemerintahan maupun rakyat di suatu negara dinilai bersama oleh masyarakat dunia dari kualitas kedewasaan politiknya dalam menyikapi dinamika konflik internal nya. Salah satu indikator yang menjadi pertimbangan investor asing dalam menanamkan modalnya yang memang masih diperlukan dalam pembangunan negara saat ini. Mengapa ini perlu di ingatkan ?. Bagi yang masih punya waktu menyaksikan berita "miris" tentang masih terjadinya ulah sekelompok "oknum" yang berani secara terbuka dan terang-terangan bersikap intoleran terhadap saudara kandung sebangsa-nya menjadi salah satu contoh pahit yang nyata masih terjadi. 
Masih ditemukannya ego sentimen "sempit" yang lebih kental dibandingkan semangat persaudaraan nasional sepantasnya menjadi "warning" bersama, karena nyata membahayakan keutuhan dan persatuan bangsa.
Apakah mungkin ada pelajaran sejarah yang lupa disampaikan oleh para guru pendidik bangsa ini tentang kenyataan terdapatnya keaneragaman agama, warna dan budaya penduduk bangsa ini sejak awal lahir kesepakatan pembentukan-nya ?,   atau karena memang ada "doktrin" lain yang lebih dominan mencekoki masyarakat secara intens sehingga menenggelamkan  "doktrin" persaudaraan nasional se-bangsa se-tanah air itu ?.
Bisa dibayangkan bila cara-cara intoleransi seperti pelarangan hingga pembubaran ibadah agama (yang dijamin pemerintah dalam pasal 29 UUD 1945 itu) dibiarkan, dan ditiru ditempat lain, oleh kelompok mayoritas lainnya yang memang berbeda-beda dominasinya di tiap daerah yang ribuan jumlah pulau-nya itu ?. 
Pertanyaan yang sensitif,  Memangnya apa kerugian-nya bila saudara kandung sebangsa-nya beribadah menyembah Tuhan-Nya ?. Bukankah seharusnya malah dibantu dipermudah oleh saudaranya ?. Preseden negatif  seperti ini harus diantisipasi sejak dini agar tidak terulang terus menerus lagi. Tidak mungkin hanya mengandalkan peran pemerintah sendiri-an saja. Harus juga melibatkan peran aktif tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam menetralisir "doktrin-doktrin" yang banyak berbeda tersebut.
Kenyataan masih marak nya perdebatan isu diantara kelompok primordialis dengan kelompok nasionalis seolah-olah mencerminkan masih belum tuntas-nya pertarungan konflik ideologi hingga saat ini. Tuntutan kepatuhan pada keputusan bersama dan final tentang bentuk dan ideologi negara tidak boleh diperdebatkan lagi. Harus juga diikuti dengan penerapan sanksi yang tegas bagi siapapun yang melanggarnya. Alternatif solusi bijaksana namun tegas bagi kondisi seperti ini terhadap "kelompok" yang belum ikhlas menerima kesepakatan bangsa terhadap NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai sebuah harga mati yang tidak boleh di nego lagi, maka pilihannya adalah pindah ke negara lain yang dianggapnya "lebih baik" sesuai dengan keinginan selera ideologi-nya itu. 
Bukan menghabiskan "energi" bangsa Indonesia ini yang seharusnya di-pacu untuk mencapai tujuan nasionalnya. Tidak "elok" lagi bila masih ada yang berpolemik soal egoisme sempit. Soal siapa yang lebih besar saham-nya di negara ini.
Penutup
Bila semua "orang" hanya saling berharap dan pasif menunggu timbul-nya kesadaran nasional secara spontan saja,  tanpa upaya nyata membangun kesadaran persaudaraan nasional diantara masyarakatnya, masih tidak mau mengalah dan menahan ego kelompok-nya masing-masing, sama ibaratnya dengan orang yang sedang menonton film di bioskop namun sudah tau akhir ceritanya. Bagaikan "bom waktu" disintegrasi nasional yang  dibiarkan bergerak terus tanpa upaya nyata menjinak-kan-nya. 
Bila sudah meledak, baru kaget kepada kerusakan yang diakibatkannya. Sepakatkah kita bahwa Indonesia dibangun dari jerih payah, keringat dan air mata bersama seluruh "warna" anak bangsa ?. Atau mungkinkah hanya diperjuangkan kemerdekaannya oleh satu kelompok etnis masyarakat saja ?. 
Seperti yang sesumbar  disombongkan oleh segelintir oknum. Jangan biarkan racun kesombongan kelompok seperti itu memicu lahirnya kanker demokrasi yang pasti merugikan keutuhan bangsa. Tidak mungkin persatuan bangsa ini bisa terjaga utuh bila hanya dipasrahkan pada segelintir "orang" saja. Harus dijaga bersama-sama dan harus bersungguh-sungguh. Ini bukan sekedar basa-basi pemanis politik saja. Ini serius bung !.
Esra Kriahanta Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han), Pengamat Integrasi Nasional Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun