Oleh : E. Senovico
Musim semi membuat Sungai Tiber tampak tenang dan bersahabat. Tapi ketenangan itu menipu. Karena di dasarnya, endapan kenangan terus menunggu untuk disapa. Ada kenangan yang tidak mengalir bersama waktu, tapi menetap seperti batu luka di dasar ingatan. Wisatawan dari seluruh penjuru dunia lalu-lalang di atas jembatan, menyusuri tepian sungai yang memantulkan langit biru dan bunga-bunga mekar. Mereka mengagumi permukaannya, padahal permukaan itu hanya cermin, ia tak mengisahkan apa-apa tentang kedalaman.
Dari Ponte Sant'Angelo hingga Trastevere yang berwarna pastel, Tiber menjadi latar sempurna bagi foto-foto Instagram dan narasi-narasi singkat tentang keindahan Eropa. Namun sungai ini tak tumbuh dari estetika. Ia lahir dari luka, dan mengalir bukan hanya karena gravitasi bumi, tapi karena gravitasi ingatan yang tak selesai ditanggung oleh lumpur sungai. Orang datang untuk menyapa keindahan permukaannya, padahal kedalaman arusnya menyimpan cerita yang tak bisa diceritakan tanpa menyentuh kegelapan.
Sungai Tiber adalah rahim sekaligus nisan bagi kota Roma. Di sinilah, menurut mitos kuno, Romulus dan Remus dihanyutkan dalam keranjang oleh tangan masa lalu yang tak dikenal, lalu diselamatkan oleh seekor Serigala. Tapi Tiber tak hanya menampung bayi-bayi legenda. Di abad-abad kelamnya, ia juga menampung tubuh-tubuh manusia yang dibuang oleh sejarah, dilempar dari kekuasaan, atau dikubur diam-diam oleh kekalahan. Sungai ini pernah menjadi tempat pembuangan bagi pengkhianat, pemberontak, hingga orang-orang yang namanya tak pernah ditulis ulang karena dianggap terlalu berbahaya untuk diingat.
Di masa perang, terutama saat bayang-bayang fasisme jatuh ke atas Italia, jembatan-jembatan di sepanjang Tiber menjadi nadi pertahanan dan kehancuran. Di sinilah pergerakan pasukan saling melintasi, dan banyak yang tak pernah kembali dari sisi sungai yang lain. Airnya menjadi samar. Bukan karena pantulan cahaya, tapi karena terlalu banyak bayangan yang tenggelam di dalamnya. Tiber menjadi kubur sunyi bagi banyak yang tak pernah pulang pada masa Roma masih berperang. Sejarah mencatat peristiwa-peristiwa itu dengan tinta tipis, tapi sungai ini menanggungnya dengan tubuh utuh. Orang-orang Romawi dahulu punya pepatah, L’acqua der Tevere nun lava l’onta (air Sungai Tiber tidak dapat membersihkan aib). Dan saya percaya, pepatah itu bukan hanya untuk masa lalu. Ia ditulis untuk masa kini yang terlalu cepat melupakan.
Kadang saya berpikir, Tiber tak pernah mengalir ke laut. Ia hanya terus berjalan untuk melupakan. Tapi apa daya, sungai seperti ini tak punya hak untuk benar-benar melupakan. Ia harus terus mengalir dengan membawa semuanya, yang indah dan yang terbuang. Dan kini, saat musim semi menjadikannya indah kembali, ia hanya diam. Seperti orang tua yang telah mengalami terlalu banyak hal untuk ikut bahagia bersama keturunannya.
Banyak yang mengira air itu bersih karena terlihat bening. Padahal air hanya tahu bagaimana caranya memantulkan cahaya. Dan seperti Tiber, kita semua kadang memilih tampak tenang, karena terlalu lelah menjelaskan luka yang terus bergerak di dalam diri. Kota ini berdiri megah karena ia berdiri di atas lapisan-lapisan kehancuran yang telah dikuburkan. Seperti banyak dari kita, yang hanya bisa tersenyum karena telah mengarsipkan tangis dengan rapi.
Hari ini, para turis masih berdiri di jembatan, menyusun pose, dan mengirimkan kebahagiaan dalam bentuk digital. Mereka tak tahu bahwa di bawah mereka, air masih mengalir sambil membawa cerita yang tidak semua mata ingin tahu. Tiber tidak marah. Ia tidak menuntut untuk dipahami. Ia hanya ingin tetap berjalan, seperti ia telah lakukan sejak lama, menjadi cermin bagi kota yang tumbuh dari luka, dan menjadi suara diam bagi sejarah yang tidak pernah sempat ditulis oleh para pemenang.
Mungkin itulah sebabnya, saat saya berdiri memandang airnya, saya merasa sedang menatap bukan hanya sungai, tetapi sang waktu itu sendiri. Sebuah waktu yang tak pernah benar-benar lewat, hanya berubah wujud. Dan barangkali, setiap sungai yang kita kagumi diam-diam sedang berkata: "jangan hanya lihat arusku, dengarkan juga bisikan masa lalu yang kubawa".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI