Kita telah sampai di ujung Ramadan, bulan yang seharusnya menjadi puncak refleksi dan pembaruan diri. Tapi di negeri ini, keheningan Ramadan sepertinya sebatas ritual, sedangkan keresahan tetap bertumpuk di dada. Tak ada yang benar-benar selesai, tak ada yang benar-benar berubah.
Kejujuran semakin langka, seolah hanya mitos dalam buku-buku moral. Kepemimpinan telah kehilangan bentuknya, bukan lagi suri teladan, melainkan panggung sandiwara. Rakyat menyaksikan layar kaca yang terus menampilkan kebohongan yang sudah tak mampu lagi mereka percayai. Kata-kata memang benar adanya diucap, lalu bersama angin ikut menguap. Janji dibuat, tetapi hanya untuk menghibur yang percaya., dan Keadilan hanya menjadi iklan komersil, diperjualbelikan kepada yang mampu membayar.
Di negeri ini, tak perlu menjadi jujur untuk berkuasa, tak perlu menjadi bijak untuk didengar. Yang bersuara disumbat, yang melawan ditindak. Kita hidup dalam dunia yang mengajarkan bahwa ketakutan lebih bernilai daripada keberanian, bahwa diam lebih aman daripada kejujuran. Lantas, apa artinya pengorbanan selama ini? Untuk siapa bangsa ini sebenarnya?
Tapi di antara reruntuhan kepercayaan, masih ada harapan. Harapan itu ada di wajah anak-anak yang bertanya tentang masa depan tanpa perlu diajarkan kebohongan. Harapan itu ada di mereka yang tetap memilih jujur, meski dunia menertawakan mereka. Harapan itu ada di tangan mereka yang masih menulis, masih berbicara, masih menolak tunduk pada absurditas yang dipaksa dianggap normal.
Seperti kata Soe Hok Gie, "Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta." Barangkali kita telah dikhianati oleh mereka yang seharusnya memimpin, barangkali negeri ini sedang jatuh ke titik terendahnya, maka harapan belum sepenuhnya mati.
Di penghujung Ramadan ini, kita tidak meminta keajaiban. Kita hanya ingin negeri ini kembali waras, agar kejujuran tidak lagi dianggap kebodohan, agar keadilan tidak lagi hanya milik mereka yang mampu membeli. Kita ingin pemimpin yang tidak sekadar mengucap janji, tapi berjalan di depan sebagai teladan.
Sebab negeri ini bukan hanya milik mereka yang duduk di kursi-kursi kekuasaan. Negeri ini adalah milik mereka yang masih percaya bahwa kejujuran bukanlah aib, bahwa harapan masih pantas diperjuangkan.
Ramadan pergi, tetapi keresahan-keresahan masih nyata di dalam hati. Maka biarkan keresahan ini menjadi bara, agar kita tidak terbiasa dengan absurditas, agar kita tetap terjaga, agar harapan tidak hanya menjadi kata-kata kosong.
Sebab bangsa yang menyerah pada absurditas adalah bangsa yang perlahan menggali kuburnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI