Pada tahun 64 M, Roma dilanda kebakaran besar yang menghanguskan sebagian besar kota, termasuk banyak bangunan penting seperti Istana Nero dan Kuil Jupiter Stator. Kebakaran ini berlangsung selama enam hari tujuh malam, meninggalkan kehancuran yang meluas dan menimbulkan banyak korban jiwa. Namun, di balik tragedi tersebut, terdapat kisah yang lebih gelap tentang bagaimana penguasa pada waktu itu, yakni Kaisar Nero, menggunakan taktik obfuscation (pengkaburan informasi) untuk menutupi kesalahan dan mengalihkan perhatian dari kegagalannya dalam mengelola bencana tersebut.
Menurut sejarawan Romawi Tacitus, setelah kebakaran, Nero mengalihkan perhatian rakyat dengan menyalahkan umat Kristen sebagai penyebab kebakaran. Meskipun bukti yang ada tidak mendukung tuduhan tersebut, Nero menggunakan propaganda untuk menyebarkan kebohongan ini demi menyelamatkan dirinya. Umat Kristen yang tidak bersalah pun menjadi korban dari kebijakan kejam ini, dipersekusi dan dibunuh di bawah tuduhan yang tidak berdasar.
Dalam kasus ini, obfuscation digunakan oleh Nero untuk menutupi tanggung jawabnya. Ia menggambarkan dirinya sebagai pahlawan yang berusaha membangun kembali kota, meskipun sebenarnya menggunakan kebakaran untuk memperkuat posisinya dan menyingkirkan kelompok-kelompok yang dianggapnya ancaman. Ini adalah contoh bagaimana kebohongan digunakan untuk mengalihkan perhatian dan mengontrol narasi, terutama ketika penguasa takut kehilangan kekuasaan atau kredibilitas.
Obfuscation semacam ini sangat berbahaya. Tidak hanya menyembunyikan kebenaran, tetapi juga merusak kepercayaan rakyat. Rakyat yang sudah menderita akibat kebakaran besar kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka ditipu oleh penguasa mereka. Nero menganggap rakyat Roma sebagai orang bodoh yang hanya bisa menerima narasi yang disajikan tanpa mampu memahami kenyataan. Dengan demikian, obfuscation digunakan sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat dengan membingungkan mereka dan mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih mendalam.
Fenomena serupa terjadi di dunia modern. Di tengah terungkapnya kasus mega korupsi yang melibatkan salah satu BUMN di Indonesia, banyak pihak justru lebih memfokuskan perdebatan pada "blending" bahan bakar dan kualitas "oplosan", seolah itu isu utama. Fokus yang teralihkan ini mengaburkan perhatian dari masalah yang lebih mendalam.
Padahal, jika kita berpikir lebih jernih, perhatian seharusnya difokuskan pada penggelapan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi dalam industri energi yang merugikan negara dan rakyat dalam jangka panjang. Sebaliknya, kita terjebak dalam kebingungannya yang diciptakan oleh penguasa melalui manipulasi informasi. Obfuscation ini mengalihkan perhatian kita pada kualitas produk, sementara masalah mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam terabaikan.
Obfuscation ini memperburuk keadaan dengan menumbuhkan kegelapan informasi yang lebih dalam. Ketika perhatian publik teralihkan, kita semakin jauh dari pembenahan sistem yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar. Perdebatan yang tidak produktif ini memperlambat penyelesaian masalah mendasar, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam industri energi, yang tetap tertunda.
Filsuf Plato dalam The Republic menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat terjebak dalam "kegelapan gua", hanya bisa melihat bayangan dari dunia yang dikendalikan oleh penguasa. Obfuscation yang dilakukan oleh Nero mengingatkan kita pada narasi "spin" yang kita temui hari ini---manipulasi informasi untuk mempertahankan kekuasaan dan membuat kita tetap terperangkap dalam realitas palsu.
Immanuel Kant menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan kemandirian intelektual. Jika kita membiarkan penguasa mengaburkan kebenaran dan memanipulasi fakta, kita akan kehilangan hak kita sebagai individu yang berpikir kritis. Obfuscation, baik dalam konteks sejarah Roma maupun dunia modern, adalah tanda dari pemerintahan otoriter, yang mengekang kebebasan berpikir kita dan mengurangi martabat manusia.
Pemerintah yang menggunakan istilah kabur dan manipulatif merusak transparansi dan kejujuran, dua elemen penting dalam masyarakat demokratis. Ketika pemerintah menganggap rakyatnya cukup bodoh untuk dibodohi dengan permainan kata, sesungguhnya mereka telah merusak kepercayaan masyarakat dan menghancurkan fondasi keadilan serta kejujuran yang harusnya menjadi dasar negara yang bertanggung jawab.
Harapan saya sebagai penulis, adalah agar pemerintah dan pejabat-pejabat publik lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Mengurangi pengaburan fakta dan memfasilitasi akses terhadap informasi yang jelas dan transparan sangat penting agar masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih baik dan terinformasi. Kejujuran dalam penyampaian informasi akan membangun kembali kepercayaan dan memperkuat fondasi demokrasi, yang pada akhirnya akan menciptakan hubungan yang lebih sehat antara penguasa dan rakyat.