Mohon tunggu...
E.Senovico
E.Senovico Mohon Tunggu... Pengarang/Pekerja

Saya seorang warga yang senang menulis dan ingin berbagi buah pikiran. Ikuti saya juga di Instagram @Overthinking_employee dan juga threads untuk berbagi ide serta kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jembatan Tumbal dan Buaya Penguasa : Kisah Satir Ketidakadilan

25 Februari 2025   08:30 Diperbarui: 24 Februari 2025   16:23 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hutan Nusantara, 25 Februari 2025 – Di sebuah hutan yang luas dan penuh warna, terdapat sebuah kebun subur yang telah lama menjadi simbol kehidupan dan harapan. Kebun ini dikelola oleh seorang pengelola kebun, seorang manusia pilihan yang dipilih karena kepiawaian dan integritasnya dalam menjaga kesejahteraan seluruh penghuni hutan. Pengelola kebun ini diharapkan menjadi pemimpin sejati yang menyeimbangkan kekuatan dengan keadilan, sehingga setiap hewan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati kebun tersebut.

Hampir semua hewan, dari yang terkecil hingga yang terbesar, mendambakan kesempatan untuk menyebrang ke kebun dan meraih kehidupan yang lebih baik. Namun, akses menuju kebun hanya dapat ditempuh melalui sebuah jembatan yang dijaga ketat oleh sosok buaya yang menebar ketakutan dan diskriminasi.

Para penghuni hutan mengamati bahwa di jembatan tersebut, hanya hewan dengan kekuatan luar biasa yang diizinkan menyeberang tanpa syarat. Sedangkan hewan yang lemah harus menyerahkan "tumbal" sebagai harga untuk memperoleh izin melintas. Di bawah jembatan, sungai yang mengalir tenang menjadi saksi bisu pertarungan antara kekuasaan dan ketidakberdayaan. Dengan tatapan dingin dan rahang tajam, buaya menetapkan aturan keras. Hanya hewan yang mampu menaklukkan tantangan yang berhak menikmati kekayaan kebun. Mekanisme "jembatan tumbal" itu telah menjelma menjadi simbol penyelewengan kekuasaan.

Seiring bayang-bayang penindasan menyelimuti, terdengar kicauan lembut yang tiba-tiba pecah di antara dedaunan. Suara burung pipit, meskipun kecil, menyanyikan lagu "Bayar Buaya." Kicauan itu menjadi seruan perlawanan terhadap otoritas buaya dan mengirimkan pesan tegas bahwa penindasan serta korupsi tidak boleh dibiarkan. Transisi dari suasana mencekam menuju harapan baru terasa nyata bagi seluruh penghuni hutan.

Sementara buaya dengan otoritasnya tetap mempertahankan sistem lama, pengelola kebun—yang sejak awal diharapkan menjadi pemimpin adil dan teladan integritas—tampak enggan mengintervensi praktik-praktik penyelewengan itu. Ironisnya, tanggung jawab besar yang melekat padanya menyoroti dilema antara mempertahankan status quo dan mendorong reformasi sejati. Harapan agar ia menjalankan peran kepemimpinannya dengan penuh keadilan semakin kuat, meskipun langkah nyata menuju keadilan masih samar terlihat.

Fenomena jembatan tumbal, yang tersaji melalui kisah dunia binatang, menyiratkan kritik tajam terhadap sistem kekuasaan yang menutup ruang bagi perbedaan dan kritik. Tindakan buaya yang memberlakukan aturan secara tegas mengikis suara rakyat. Di sisi lain, kicauan burung pipit yang menyuarakan "Bayar Buaya" menyalakan alarm ketidakadilan. Di balik setiap nada perlawanan itu tersimpan harapan bahwa kebenaran, sekecil apapun, bisa mengubah arus sejarah.

Namun, pertanyaan mendalam masih menghantui. Akankah pengelola kebun—manusia pilihan itu—tetap menjadi pemimpin sejati yang menjunjung keadilan? Ataukah ia akan tergelincir dan akhirnya menyatu dengan kekuasaan buaya yang menutup ruang perlawanan? Semoga, seperti nyanyian burung pipit yang lirih namun penuh keberanian, suatu hari nanti seluruh penghuni Hutan Nusantara dapat menikmati kebun kehidupan tanpa tunduk pada aturan yang menindas. Dan semoga sang pengelola kebun memilih jalan integritas serta keadilan, bukan terjerumus dalam kekuasaan otoriter.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun