Kejujuran di negeri ini ibarat lampu merah di jalanan—dihormati hanya jika ada polisi atau kamera tilang elektronik. Selebihnya, ia sekadar rambu yang bisa diterobos jika keadaan memungkinkan.
Dari jalanan hingga gedung-gedung megah, dari rakyat kecil hingga pejabat berjas mewah, kejujuran bukan lagi perkara nilai moral, melainkan soal kalkulasi risiko: "Kalau aman, kenapa harus jujur?"
Kita hidup di zaman di mana dosa sosial tidak diukur dari benar atau salah, tapi dari apakah seseorang tertangkap basah atau tidak.
François de La Rochefoucauld, seorang filsuf Prancis abad ke-17 yang terkenal dengan aforisme tajamnya, pernah berkata "Nous avons plus de peur de la honte que du péché" (Kita lebih sering takut dipermalukan karena ketahuan berbuat buruk, daripada takut melakukan keburukan itu sendiri).
Bukankah ini tepat menggambarkan mentalitas sebagian besar orang di negeri ini? Pejabat yang terjerat kasus korupsi bukan menangis karena merasa berdosa, tapi karena menyadari hidupnya kini terancam mendekam di balik jeruji. Mereka yang bermain kotor di pemerintahan bukan takut merampas hak rakyat, tetapi takut kamera pengawas merekam gerak-geriknya.
Di luar gedung-gedung birokrasi, di jalanan yang panas, kejujuran juga mengalami kemunduran serupa. Ada yang memberikan amplop kecil untuk mempercepat proses administrasi. Ada yang memilih berdamai di jalanan setelah melanggar lalu lintas. Semua berjalan dengan mekanisme yang sama: takut ketahuan, bukan takut bersalah.
Ketika kejujuran lahir dari paksaan, ia kehilangan maknanya sebagai kesadaran. Sama seperti anak kecil yang hanya mencuci tangan jika diawasi ibunya, atau siswa yang mengerjakan PR karena takut dihukum, bukan karena ingin belajar.
Kejujuran yang seharusnya tumbuh dalam jiwa, malah bergantung pada CCTV, sidak mendadak, dan ancaman pemecatan.
Apa ini artinya kita semua belum benar-benar dewasa dalam moral?
Seorang anak kecil akan berkata jujur jika disuruh, seorang remaja akan jujur jika takut dimarahi, tetapi seorang dewasa seharusnya jujur karena tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Namun, dalam realitas bangsa ini, banyak yang telah berumur, tetapi moralnya masih seperti anak-anak yang hanya patuh jika diawasi.
