Mohon tunggu...
Erwindya Adistiana
Erwindya Adistiana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning by Experience

Penulis pemula yang tertarik pada hal-hal seperti sejarah, militer, politik dan yang lain-lannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Dith Pran dan Haing S. Ngor: Bintang dan Tokoh Film dengan Pengalaman yang Sama

7 Juli 2022   11:45 Diperbarui: 7 Juli 2022   12:12 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dith Pran bersama Haing S. Ngor ketika mengunjungi Choeung Ek atau Killing Fields di Kamboja pada tahun 1989 | Sumber Gambar: Getty Images

Berbicara mengenai film yang diangkat dari kisah nyata, pastinya akan ada seorang aktor atau bintang film yang memerankan karakter yang diangkat dari kisah nyata tersebut. Namun pernah-kah anda mendengar jika baik karakter yang diangkat dari kisah nyata maupun sang aktor yang memerankan karakter tersebut, keduanya justru pernah memiliki pengalaman yang sama dan tidak jauh berbeda dari kisah nyata yang diangkat ke layar kaca tersebut. Ya itulah memang yang dialami oleh aktor dari film tahun 1984 yang berjudul The Killing Fields, Haing S. Ngor dan juga karakter yang diperankannya dalam film The Killing Fields yaitu Dith Pran.

Poster dari film tahun 1984 berjudul
Poster dari film tahun 1984 berjudul "The Killing Fields" | Sumber Gambar: rottentomatos.com

Film tahun 1984 yang berjudul The Killing Fields sendiri mengambil kisah yang terjadi di Kamboja pada era rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol-Pot yang berlangsung dari tahun 1975 hingga tahun 1979. Nama dari Film itu sendiri diambil dari nama sebutan salah satu tempat di Kamboja yang terkenal karena menjadi ladang tempat ribuan penduduk Kamboja dibunuh oleh rezim Khmer Merah, yaitu "Choeung-Ek" atau yang biasa dikenal sebagai "Killing Fields" yang menjadi tempat pembantaian masal penduduk Kamboja pada masa rezim Khmer Merah.

Rezim Khmer Merah di Kamboja memang merupakan salah satu tragedi terkelam yang pernah terjadi dalam sejarah dunia ini. Pada kala itu diperkirakan sekitar 1,5 juta hingga 3 juta penduduk Kamboja terbunuh di bawah kekejaman rezim Khmer Merah pimpinan Pol-Pot.

Film ini disutradarai oleh Roland Joff dan mampu meraih kesuksessan di Box Office perfilman. Bahkan karena kesuksesan film tersebut, beberapa pemeran termasuk Haing S. Ngor berhasil mendapatkan piala penghargaan bergengsi di Industri perfilman, yaitu Piala Oscar. Filmnya pun mendapat peringkat tinggi di Internet Movie Databese, yaitu 7.8.

Rezim Khmer Merah di Kamboja (1975 - 1979)

Pasukan Khmer Merah berparade di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh setelah berhasil menggulingkan pemerintahan Republik Khmer | Sumber Gambar: Time.com
Pasukan Khmer Merah berparade di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh setelah berhasil menggulingkan pemerintahan Republik Khmer | Sumber Gambar: Time.com

Pada bulan April tahun 1975 posisi pemerintahan Kamboja di bawah pimpinan Jenderal Lon Nol, pada waktu itu dinamakan Republik Khmer, semakin terpojok dengan meningkatnya serangan-serangan gerilya dari pasukan Khmer Merah di seluruh penjuru Kamboja. 

Kota demi kota pada akhirnya jatuh ke tangan pihak Khmer Merah, hingga klimaksnya terjadi pada tanggal 17 April tahun 1975, di mana pasukan pemerintah Republik Khmer dikalahkan oleh pasukan Khmer Merah dan pasukan Khmer Merah pun berhasil menduduki Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh. Jenderal Lon Nol sendiri sudah pergi meninggalkan Kamboja pada awal bulan April tahun 1975 dan digantikan oleh Saukam Khoy. Sedangkan Saukam Khoy sendiri juga turut melarikan diri meninggalkan Kamboja beserta rombongan diplomat Amerika Serikat yang dievakuasi keluar dari Kamboja pada 12 April 1975, mengingat semakin massivenya gerakan pasukan Khmer Merah yang semakin mendekati Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh pada waktu itu.

Pada 17 April tahun 1975, pasukan Khmer Merah berhasil menduduki Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh dan merebut tampuk kekuasaan pemerintahan Kamboja. Khmer Republic pun dirubah menjadi Democratic Kampuchea dan hanya dipimpin oleh satu partai yaitu Partai Komunis Kamboja. Khmer Merah yang pada waktu itu dipimpin oleh Saloth Sr atau yang biasa dikenal sebagai Pol-Pot, menerapkan sistem pemerintahan komunisme di Kamboja. Namun sang pemimpin Pol-Pot rupanya memiliki visi tersendiri untk Kamboja, yaitu mengembangkan masyarakat komunis di Kamboja dengan merubahnya menjadi masyarakat sosialis agraris. Pol-Pot juga ingin memusatkan pembangunan Kamboja pada sektor agraria.

Pemimpin Kamboja di era Khmer Merah, Saloth Sr atau yang biasa dikenal sebagai Pol-Pot | Sumber Gambar: espressostalinist.com
Pemimpin Kamboja di era Khmer Merah, Saloth Sr atau yang biasa dikenal sebagai Pol-Pot | Sumber Gambar: espressostalinist.com

Tetapi visi Pol-Pot yang sebenarnya adalah untuk membangun kembali kejayaan Kamboja layaknya seperti Kamboja di era Kerajaan Khmer yang berdiri dari abad ke-9 hingga abad ke-15. Pol-Pot bahkan sempat mengatakan jika masyarakat Kamboja di era Kerajaan Khmer dapat membangun Angkor, maka tentunya masyarakat Kamboja di era sekarang dapat membangun sesuatu yang lebih menakjubkan. Untuk menciptakan masyarakat utopianya tersebut, Pol-Pot dan rezim Khmer Merahnya memerintahkan seluruh penduduk Kamboja yang tinggal di Ibukota Phnom-Penh dan kota-kota besar lainnya untuk segera direlokasi dan dipindahkan ke wilayah pedesaan.

Tidak hanya itu saja, rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol-Pot juga memaksa masyarakat-masyarakat Kamboja untuk bekerja secara paksa di pertanian kolektif. Sedangkan orang-orang yang dinilai sebagai orang intelektual, mereka yang terpelajar dan terdidik, mereka yang pernah bekerja di Pemerintahan selama era Khmer Republic, mereka yang dapat berbicara bahasa asing seperti bahasa Perancis, mereka yang mengenakan kacamata harus menerima nasib untuk dieksekusi mati oleh rezim Khmer Merah, dengan andil untuk me-re-edukasi seluruh masyarakat Kamboja. 

Pol Pot juga menerapkan kebijakan dengan mengembalikan tahun di Kamboja menjadi "Tahun Nol" guna mengembalikan Kamboja kembali ke peradaban masa lalu. Akibatnya sekitar 1,5 juta hingga 3 juta warga Kamboja harus kehilangan nyawanya selama era rezim Khmer Merah akibat kelaparan, sakit yang tak terobati dan lebih parahnya lagi dengan sengaja dieksekusi oleh Pemerintah rezim Khmer Merah atas perintah Pol-Pot. Mereka yang dihabisi oleh Pemerintah rezim Khmer Merah banyak dieksekusi di daerah bernama Choeung Ek yang terletak di provinsi Khan Dangkao dan dikubur secara masal di sana, lokasi inilah yang kelak dikenal dengan sebutan "The Killing Fields" di kemudian hari.

Kisah Dith Pran

Dith Pran, tokoh yang diperankan oleh Haing S. Ngor di film The Killing Fields | Sumber Gambar: nytimes.com
Dith Pran, tokoh yang diperankan oleh Haing S. Ngor di film The Killing Fields | Sumber Gambar: nytimes.com

Dith Pran yang merupakan salah satu karakter yang kisah dan inspirasinya diangkat ke film The Killing Fields memang juga salah satu penyintas dari rezim Khmer Merah di Kamboja. Pran sendiri juga pernah menyaksikan kekejaman di tempat ladang The Killing Fields yang menjadi lokasi pembunuhan ribuan warga Kamboja Pada saat itu. Dith Pran lahir pada 23 September tahun 1942 di Siem Reap, Kamboja dekat dengan salah satu situs bersejarah Kamboja yang terkenal, Angkor Wat. 

Ayah Dith Pran bekerja untuk pemerintah setempat. Ketika bersekolah, Dith Pran belajar untuk berbicara Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis, yang mana merupakan bahasa yang sering dipakai warga Kamboja waktu itu, di mana Kamboja sempat menjadi jajahan Perancis atau yang sering disebut sebagai "IndoChina" pada masa penjajahan Perancis kala itu. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Dith Pran sempat bekerja sebagai penerjemah untuk para perwira Angkatan Darat Amerika Serikat dan juga untuk crew film Inggris yang sedang menggarap film berjudul "Lord Jim" yang mengambil lokasi syuting di Kamboja pada tahun 1965.

Pada tahun 1972 Dith Pran bertemu seorang wartawan surat kabar Amerika Serikat "The New York Times" bernama Sydney Schanberg. Keduanya pun menjalin hubungan yang sangat erat ketika bekerja bersama, di mana Pran bekerja sebagai penerjamah untuk Schanberg ketika melakukan liputan di Kamboja ketika Kamboja berada di masa-masa genting perang saudara antara kubu Republik Khmer di bawah pimpinan Jenderal Lon Nol dan kubu Khmer Merah di bawah pimpinan Pol-Pot. 

Ketika pasukan Republik Khmer mulai terpukul mundur oleh pasukan Khmer Merah dan pemerintahan Republik Khmer mulai goyah, Schanberg menawarkan untuk membantu mengevakuasi Pran beserta keluarganya keluar dari Kamboja melalui rombongan evakuasi staff Kedutaan Besar Amerika Serikat di Phnom Penh. Sayangnya Pran menolak tawaran tersebut dan memilih untuk tetap tinggal di Kamboja bersama Schanberg, namun istri dan anak-anak Pran berhasil dievakuasi keluar dari Kamboja beserta rombongan staff Kedutaan Besar Amerika Serikat, pada 12 April tahun 1975, berkat bantuan Schanberg.

Dith Pran bersama sydney schanberg ketika mewawancarai tentara pemerintah Republik Khmer pada tahun 1973 | Sumber Gambar: Getty Images
Dith Pran bersama sydney schanberg ketika mewawancarai tentara pemerintah Republik Khmer pada tahun 1973 | Sumber Gambar: Getty Images

Dith Pran dan Sydney Schanberg yang masih memilih untuk tinggal di Kamboja dan mengikuti perkembangan terkini, menyaksikan momen di mana pasukan Khmer Merah berhasil merebut dan menguasai Ibu Kota Phnom Penh. Pran, Schanberg beserta rekan sesama wartawan Amerika yang bernama Al-Rockoff dan juga rekan sesama wartawan Inggris yang bernama John Swain, bahkan sempat ditangkap oleh kawanan pemuda Khmer Merah. Mereka bahkan sempat diancam akan dieksekusi oleh para kawanan pemuda Khmer Merah, untung saja berkat intervensi dan negosiasi antara Dith Pran dan para kawanan pemuda Khmer Merah tersebut, nyawa mereka semua pada akhirnya berhasil terselamatkan. Setelah itu Schanberg beserta rekan-rekan wartawan asing lainnya berhasil mendapatkan perlindungan di Kedutaan Besar Perancis di Phnom Penh.

Awalnya Dith Pran sempat turut mendapat perlindungan di Kedutaan Besar Perancis bersama Schanberg dan rekan-rekannya, namun sayangnya beberapa hari kemudian pihak Khmer Merah menuntut pihak Kedutaan Perancis untuk mengeluarkan seluruh warga Kamboja yang berada di wilayah Kedutaan Perancis dari Kedutaan Perancis. Pran secara otomatis harus ikut keluar juga dari Kedutaan Perancis. 

Tetapi Al-Rockoff sempat mengupayakan agar Pran dapat keluar bersama Schanberg dan Rockoff dari Kamboja dengan menggunakan salah satu passport John Swain yang sudah kadaluarsa, dengan menggantinya dengan foto Pran dan juga beberapa tulisan di dalam passport tersebut. Namun Pran justru memilih untuk keluar dari Kedutaan Perancis dan menyerahkan diri kepada pihak Khmer Merah karena takut jika pihak Khmer Merah mengetahui jika passport itu telah dipalsukan, maka akan membuat situasi menjadi semakin rumit yang dapat membahayakan nyawa Schanberg, Rockoff dan rekan-rekannya yang lain.

Setelah menyerahkan diri kepada pihak Khmer Merah, Dith Pran pun harus menyembunyikan kemampuan intelektualnya, seperti Pran yang sebenarnya dapat berbicara Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis dan harus berpura-pura seolah-olah dia tidak bisa bahasa asing sama sekali untuk menghindari eksekusi terhadap kaum intelektual oleh rezim Khmer Merah. Pran sendiri juga mengaku bahwa dirinya sebenarnya hanyalah seorang sopir taksi dan tidak mengenal sama sekali orang-orang Amerika dan juga orang asing lainnya dan pada waktu itu hanya sekedar ikut saja mencari perlindungan di Kedutaan Perancis bersama warga Kamboja lainnya yang berusaha menghindari penangkapan dari pihak Khmer Merah dengan berlindung di Kedutaan Perancis. Pran berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan jati dirinya sebagai orang intelektual.

Kamp Kerja Paksa di Kamboja ketika era rezim Khmer Merah, tempat di mana Dith Pran dikirim | Sumber Gambar: History.com
Kamp Kerja Paksa di Kamboja ketika era rezim Khmer Merah, tempat di mana Dith Pran dikirim | Sumber Gambar: History.com

Selama tahun-tahun berikutnya, Pran bekerja secara paksa di ladang-ladang pertanian dan juga kamp kerja paksa di bawah kejamnya rezim Khmer Merah di Kamboja. Tidak hanya itu saja, Pran juga harus mengalami penyiksaan yang menyakitkan oleh pihak Khmer Merah karena dirinya dan menderita kelaparan. 

Pran juga harus kehilangan beberapa saudara sekandungnya, seperti tiga saudara laki-lakinya dan satu saudara perempuan yang dibunuh oleh rezim Khmer Merah dan juga sang bapak yang meninggal akibat sakit karena kelaparan. Pada Januari tahun 1979 ketika Vietnam menginvasi Kamboja, rezim Khmer Merah pimpinan Pol-Pot pun turut tumbang dan Pran terbebas dari jeratan rezim Khmer Merah. Bahkan pihak Vietnam sempat mengangkat Pran sebagai Kepala Desa, sayang pihak Vietnam rupanya mengetahui jika Pran pernah bekerja bersama orang-orang Amerika dan Pran kemungkinan terancam kembali pada jeratan penyiksaan.

Dith Pran pun memutuskan untuk kabur dari Kamboja bersama beberapa rekannya. Ketika dalam perjalanan pelarian sejauh 40 mil atau 60 kilometer, Pran sempat menemukan tumpukan mayat dan sisa-sisa kerangka manusia yang tidak lain adalah korban dari pembantaian rezim Khmer Merah. Pran pun menyebut daerah tersebut dengan sebutan yang kelak menjadi sangat terkenal dan menjadi simbol daerah genosida atau pembantaian masal pada masa rezim Khmer Merah yaitu "The Killing Fields" yang mana istilah tersebut sebenarnya memang Dith Pran lah yang pertama kali menuturkan. Berdasarkan wawancaranya kepada seorang Wartawan, Pran bahkan mengatakan bahwa dirinya sempat merasakan kehadiran salah satu saudaranya yang terbunuh oleh rezim Khmer Merah ketika berada di daerah tersebut dan mempercayai jika salah satu saudaranya memang dieksekusi oleh pihak Khmer Merah di daerah tersebut.

Dith Pran bersama Sydney Schanberg di Amerika, pasca berjumpa kembali setelah terpisah selama 4 tahun lamanya | Sumber Gambar: Getty Images
Dith Pran bersama Sydney Schanberg di Amerika, pasca berjumpa kembali setelah terpisah selama 4 tahun lamanya | Sumber Gambar: Getty Images

Pada bulan Oktober tahun 1979, Dith pran pada akhirnya berhasil mencapai perbatasan Thailand dan di sana ia mendapatkan perlindungan di salah satu kamp Palang Merah. Ketika di kamp itu pula-lah Pran juga berusaha memberi kabar kepada Sydney Schanberg di Amerika jika dirinya telah berhasil melarikan diri ke Thailand. Mendengar kabar tersebut, Schanberg yang memang selama 4 tahun terakhir, sejak berpisah dengan Pran pada April tahun 1975, telah berusaha sebisa mungkin untuk mencari kabar tentang keberadaan Pran agar dapat membawanya bergabung kembali dengan keluarga Pran dan Schanberg di Amerika Serikat, sangatlah senang dan bahagia mengetahui jika Pran masih hidup dan telah selamat sampai di salah satu kamp palang merah di Perbatasan Thailand. 

Schanberg pun langsung bergegas terbang menuju Thailand guna bertemu kembali dengan Dith Pran dan sesampainya di kamp Palang Merah tempat Dith Pran berlindung, mereka pun pada akhirnya dipertemukan kembali setelah empat tahun berpisah dengan rasa gembira, bahagia dan sukacita.

Dith Pran pada akhirnya terbang menuju Amerika Serikat bersama Sydney Schanberg, di mana ia dipertemukan kembali dengan istri dan anak-anaknya yang sudah dievakuasi terlebih dahulu pada tahun 1975. Ketika menetap di Amerika Serikat, Dith Pran bekerja sebagai photojournalist di surat kabar tempat Sydney Schanberg juga bekerja yaitu The New York Times. Pada tahun 1980 kisah Dith Pran ketika berjuang bertahan hidup di bawah kejamnya rezim Khmer merah, ditulis menjadi buku oleh Sydney Schanberg yang berjudul "The Death and Life of Dith Pran" dan merupakan inspirasi untuk film The Killing Fields yang di release pada tahun 1984.

Kisah Haing S. Ngor

Haing S. Ngor, pemeran Dith Pran di film The Killing Fields | Sumber Gambar: Getty Images
Haing S. Ngor, pemeran Dith Pran di film The Killing Fields | Sumber Gambar: Getty Images

Haing S. Ngor yang juga berasal dari Kamboja dan merupakan seorang aktor Hollywood yang memerankan tokoh Dith Pran di film tahun 1984 The Killing Fields, sebenarnya memiliki pengalaman yang tidak jauh berbeda dengan tokoh yang diperankannya di film tersebut. Ngor sendiri juga salah satu penyintas kekejaman rezim Khmer Merah di Kamboja pada tahun 1975 hingga tahun 1979.

Haing S. Ngor dilahirkan pada tahun 1940 di Samrong Young, Provinsi Bati Kamboja. Haing S. Ngor sebenarnya tidak memiliki background sebagai aktor atau seni-peran, tetapi dirinya adalah seorang dokter bedah dan gynecologist. Sebelum Kamboja jatuh ke tangan rezim Khmer Merah, Ngor sempat praktek sebagai seorang dokter di ibukota Phnom Penh, namun ketika rezim Khmer Merah berhasil menduduki ibukota Kamboja, Phonom Penh, Ngor beserta sang istri My-Huoy dipaksa untuk meninggalkan Phnom Penh dan direlokasi ke daerah pedesaan bersama jutaan warga Kamboja lainnya dan dipaksa untuk bekerja di ladang pertanian dan kamp konsentrasi rezim Khmer Merah, dalam rangka kebijakan Tahun-Nol yang dicetuskan oleh Pol-Pot sang pemimpin Kamboja di bawah rezim Khmer Merah. 

Ngor sendiri juga harus menyembunyikan jati dirinya yang merupakan seorang intelektual dan juga seorang dokter dan keterampilan medisnya guna menghindari eksekusi oleh pihak Khmer Merah. Ngor bahkan harus menyembunyikan fakta lain mengenai dirinya yang sebenarnya menggunakan kacamata, yang mana akan dianggap sebagai orang intelektual oleh pihak rezim Khmer Merah dan terancam akan dieksekusi jika mereka mengetahui bahwa Ngor menggunakan kacamata.

Tidak hanya itu saja, Ngor sendiri juga harus menerima kenyataan yang sangat pahit, di mana ia harus rela kehilangan sang istri. Sang istri, My-Huoy, pada saat mereka berada di kamp konsentrasi rezim Khmer Merah sebenarnya tengah mengandung anak dari Ngor dan Huoy. Tetapi ketika hendak melahirkan sang anak, istri Ngor membutuhkan bantuan operasi caesar. Walaupun Ngor yang notabene adalah seorang gynecologist dapat melakukan tindakan operasi caesar, tetapi Ngor tidak dapat melakukannya, karena jika pihak Khmer Merah mengetahuinya, jati dirinya sebagai seorang dokter maka akan diketahui oleh pihak Khmer Merah, dan dirinya juga sang terancam akan dieksekusi mati oleh pihak Khmer Merah. 

Alhasil istri Ngor pun berusaha untuk melahirkan secara normal yang pada akhirnya justru menyebabkan sang istri dan anak Ngor yang masih berada di dalam kandungan pun harus meninggal secara bersamaan. Tragedi ini membuat Ngor sangatlah terpukul, terutama harus kehilangan kedua orang yang ia cintai secara bersamaan. Seperti Dith Pran, Ngor juga menghabiskan waktu di kamp konsentrasi rezim Khmer Merah selama empat tahun masa rezim Khmer Merah di Kamboja, dari tahun 1975 hingga 1979.

Ketika rezim Khmer Merah tumbang pasca invasi Vietnam terhadap Kamboja di tahun 1979, Ngor berhasil melarikan diri ke perbatasan Thailand bersama sepupu dan juga rekan-rekannya. Ketika berada di kamp pengungsi di Thailand, Ngor bekerja sebagai dokter di salah satu kamp palang merah di perbatasan Thailand dan Kamboja yang terus dipadati oleh pengungsi dari Kamboja, di mana perang masih pecah antara pihak Vietnam yang sudah berhasil menduduki ibu kota Phnom Penh dan pihak Khmer Merah yang berusaha merebut kembali kekuasaan. Pada Agustus tahun 1980, Ngor dan saudara sepupunya memutuskan untuk pergi dan menetap di Amerika Serikat. Sayangnya Ngor tidak dapat melanjutkan prakteknya sebagai seorang dokter ketika berada di Amerika Serikat.

Haing S. Ngor ketika memerankan Dith Pran di film The Killing Fields bersama Sam Waterston yang memerankan Sydney Schanberg | Sumber Gambar: imdb.com
Haing S. Ngor ketika memerankan Dith Pran di film The Killing Fields bersama Sam Waterston yang memerankan Sydney Schanberg | Sumber Gambar: imdb.com

Namun nasib baik sepertinya berpihak pada dirinya. Ketika berada di sebuah pernikahan warga Kamboja yang menetap di Amerika Serikat, Ngor bertemu dengan seorang sutradara bernama Pat Golden. Dari situlah sutradara yang sedang menggarap film The Killing Fields, Roland Joff, mendapatkan rekomendasi untuk memilih Haing S. Ngor untuk memerankan karakter Dith Pran di film tersebut. 

Awalnya Ngor menolak untuk ikut berpartisipasi dalam film tersebut karena ia tidak memiliki background sama sekali sebagai aktor atau dalam dunia seni-peran, namun setelah dibujuk oleh sang sutradara dan produser, Ngor pun pada akhirnya setuju untuk berpartisipasi berperan sebagai Dith Pran di film The Killing Fields. 

Ngor setuju dan semakin mantab untuk ikut ambil bagian dalam film The Killing Fields, terutama karena ia juga teringat akan janjinya kepada sang istri sebelum meninggal bahwa kelak suatu hari ia akan menunjukan kepada seluruh dunia betapa kejamnya rezim Komunis Khmer Merah di Kamboja pada waktu itu dan betapa pilunya rakyat-rakyat Kamboja yang harus menderita karena kelaparan dan keberutalan rezim Komunis Khmer Merah pada masa itu.

Karena perannya sebagai Dith Pran dalam film The Killing Fields ini-lah nama Haing S. Ngor seakan langsung mencuat di industri hiburan, terutama di Hollywood. Peran Ngor sebagai Dith Pran banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. Alhasil walaupun perannya sebagai Dith Pran merupakan debut Haing S. Ngor sebagai aktor, tetapi Ngor sudah dapat menyabet piala penghargaan paling bergengsi di Industri perfilman yaitu Piala Oscar dan menjadikannya aktor Asia Tenggara pertama yang berhasil memenangkan Piala Oscar, serta aktor pertama yang berhasil memenangkan Piala Oscar pada akting film yang pertamanya. 

Ngor sendiri merasa puas karena perannya dalam film tersebut, ia bahkan berkata kepada seorang wartawan jika dirinya sangatlah puas karena dapat menyampaikan kepada seluruh dunia melalui film The Killing Fields tahun 1984 bagaimana menderitanya rakyat Kamboja akibat kekejaman rezim Khmer merah pada saat itu.

Persahabatan Dith Pran dan Haing S. Ngor

Haing S. Ngor bersama Dith Pran ketika bertemu Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pada tahun 1985 | Sumber Gambar: Getty Images
Haing S. Ngor bersama Dith Pran ketika bertemu Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pada tahun 1985 | Sumber Gambar: Getty Images

Peran Haing S. Ngor sebagai Dith Pran di film The Killing Fields pada akhirnya mempertemukan Haing S. Ngor dan Dith Pran yang juga sesama penyintas rezim Khmer Merah. Sejak saat itulah keduanya menjalin persahabatan yang erat antara satu sama lain. Ngor dan Pran juga bekerjasama dalam mendirikan organisasi sosial untuk bantuan kemanusiaan, terutama untuk membantu warga Kamboja korban dari rezim Khmer Merah. Haing S. Ngor dan Dith Pran bahkan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Ronald Reagan, guna menceritakan pengalaman mereka ketika berada di Kamboja pada masa rezim Khmer Merah. Ngor dan Pran juga meminta kepada Presiden Reagan untuk membantu memulihkan kebebasan kepada rakyat Kamboja yang masih terperangkap dalam gejolak hingga dekade tahun 1980an pada waktu itu dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka.

Ngor juga mendirikan organisasi kemanusiaan bersama aktor Jack Ong yang ia jumpai ketika bermain film "The Iron Triangle" pada tahun 1989. Pada suatu kesempatan, Ngor dan Pran juga mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kembali Kamboja pada suatu misi kemanusiaan untuk rakyat Kamboja pada tahun 1989, di mana gejolak di Kamboja sudah mulai mereda. Pada saat mengunjungi kembali Kamboja keduanya juga mengingat kembali pengalaman mereka berdua sewaktu berada di sana pada masa-masa kelam rezim Khmer merah.

Tetapi sayangnya nasib tragis harus menghampiri Haing S. Ngor. Pada 25 Februari tahun 1996, Haing S. Ngor tewas setelah tertembak oleh berandalan perampok di dekat apartemennya di daerah Chinatown di Kota Los Angeles. Sang perampok menuntut Ngor untuk menyerahkan jam tangan emas rolexnya yang mana Ngor memberikannya. Tetapi Ngor menolak ketika para berandalan perampok tersebut meminta kalung emas liontinnya yang terdapat foto mendiang istri Ngor di Liontin tersebut dan konon itulah yang menyebabkan para berandalan tersebut tega menembak Ngor hingga tewas dan menjambret kalung emas Liontin Ngor. Tetapi tersirat kabar pula jika Ngor sebenarnya tewas terbunuh oleh orang yang memang diberi perintah oleh Pol-Pot untuk menghambisi Haing S. Ngor. Bahkan pada tahun 2009, Kang Kek Iew, salah satu petinggi Khmer Merah yang tengah diadili atas tindak pidana kejahatan genosida yang terjadi di Kamboja pada era rezim Khmer Merah, mengatakan bahwa Haing S. Ngor memang dibunuh atas perintah dari Pol Pot karena ketidaksukaan Pol Pot akan film The Killing Fields dan peran Ngor di film tersebut, walaupun penyelidik di Amerika tidak menemukan bukti keterlibatan Pol Pot atas pembunuhan Haing S. Ngor.

Haing S. Ngor bersama Dith Pran ketika mengunjungi kembali Kamboja pada tahun 1989 | Sumber Gambar: Getty Images
Haing S. Ngor bersama Dith Pran ketika mengunjungi kembali Kamboja pada tahun 1989 | Sumber Gambar: Getty Images

Sontak berita terbunuhnya Haing S. Ngor, membuat heboh industri perfilman dan juga warga Kamboja di Amerika yang sangat mengaguminya karena perannya di film The Killing Fields. Kabar tersebut juga membuat Dith Pran sangat terpukul dan sangat sedih. Pran bahkan mengatakan bahwa Haing S. Ngor sudah seperti saudara kembarnya sendiri dan sekarang dia menjadi sangat sendirian setelah kepergian Ngor. Para berandalan pembunuh Haing S. Ngor pada akhirnya dinyatakan bersalah atas pembunuhan dan dihukum penjara seumur hidup pada tanggal 16 April tahun 1998 dan ironisnya bertepatan pula dengan hari yang sama di mana Pol Pot meninggal Dunia.

Tetapi ketika film The Killing Fields di release pada tahun 1984, Ngor sempat berkata kepada salah seorang wartawan jika dirinya dapat meninggal kapan saja, namun film tersebut akan terus ada dan tayang hingga ratusan tahun.

Dith Pran ketika bertugas sebagai Jurnalis Fotografi di Newark, New Jersey pada tahun 2006 | Sumber Gambar: Getty Images
Dith Pran ketika bertugas sebagai Jurnalis Fotografi di Newark, New Jersey pada tahun 2006 | Sumber Gambar: Getty Images

Dith Pran sendiri terus melanjutkan karirnya sebagai photojournalist. Sayangnya pada January tahun 2008 Dith Pran didiagnosa mengidap kanker pankreas setelah sakit cukup lama. Dith Pran pada akhirnya menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya pada 30 Maret 2008. Salah satu orang yang menemani Dith Pran di saat-saat terakhirnya adalah Sydney Schanberg.


Sumber:

Schanberg, Sydney (1980). The Death and Life of Dith Pran. Penguin Book. ISBN 0-14-008457-6.

https://www.rogerebert.com/reviews/the-killing-fields-1984

https://www.theguardian.com/film/2009/mar/11/the-killing-fields-reel-history

https://www.deepfocusproductions.com/films/the-killing-fields-of-dr-haing-s-ngor/

https://www.nytimes.com/2008/03/31/nyregion/31dith.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun