Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banyak Kucing Bermental Tikus

23 September 2015   20:22 Diperbarui: 23 September 2015   20:29 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

....Tikus-tikus tak kenal kenyang

Rakus-rakus bukan kepalang

Otak tikus memang bukan otak udang

Kucing datang tikus menghilang.....

‘Om’ Iwan Fals

Sebagian besar pembaca pasti pernah denger lagu “Tikus-Tikus Kantor” karya musisi papan atas Indonesia, Om Iwan Fals. Lagu sarat kritik sosial akan kebobrokan instansi pemerintahan era orde baru ini seolah menjadi lagu wajib bagi pegiat anti korupsi dan penentang pemerintah pada zamannya. Musisi jalanan kerap menyanyikannya dengan lantang pertanda mereka sadar betul penyakit korupsi bangsa ini kian parah, kian hari beranak-pinak dan mengancam semua sendi kehidupan.

Korupsi menggurita di semua lapisan sosial masyarakat. Dana bansos di korupsi, raskin di korupsi, bahkan dana untuk rehab rumah ibadah saja masih sempat-sempatnya di korupsi. Inilah gambaran “tTikus-tikus kantor” yang menghiasi perjalan negeri ini. Mereka terus hadir dan berpesta pora dibalik penderitaan sesama. Mirip tikus, datang mengambil yang bukan haknya, lalu menghilang dalam kegelapan.

Karakter tikus memang begitu. Dia masuk ketgori hewan fasiq. Fasiq dalam ajaran yang saya anut ditujukan pada orang yang keluar dari ketaatan atau orang yang suka melanggar aturan padahal dia tahu aturan itu mesti dia taati. Begitulah seorang koruptor. Karakter mereka layaknya seekor tikus. Mereka tahu korupsi itu haram, tapi tetap mereka lakukan juga.

Perilaku seorang koruptor praktis identik dengan perilaku seekor tikus.

Tikus suka mencuri melewati lorong-lorong yang gelap. Walau paha ayam di atas meja sudah ditemani lima batang lilin dan kita bentangkan permadani agar tikus tadi dapat naik ke sana dan menikmati sajian itu  dengan syahdu, tikus lebih suka menunggu dibalik lorong yang gelap dan beraksi setelah lampu ruangan dimatikan. Saat lampu menyala, paha ayam menghilang entah kemana.

Tipikal koruptor juga begitu. Mereka lebih suka mengintai harta negara melalui celah-celah gelap dari sebuah sistem yang kacau. Ketika yang lain lengah dengan mudah mereka memindahkan harta negara atau orang lain ke kas pribadi mereka. Padahal mereka tahu perbuatan itu dilarang. Tetapi karena sudah fasiq layaknya tikus di atas, maka semua aturan menjadi sia-sia.

Akibatnya agak sulit memberantas tikus di negeri. Ditangkap satu nama, muncul tujuh nama. Bayangkan ternyata jumlah mereka tak sedikit dari yang kita kira. Mereka diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Produk budaya ini menurun dari mbah-mbah pada kakek, kakek pada anak, anak pada cucu dan kemudian terus beranak-pinak di setiap generasi. Malah terkadang dinasti korup merajalela di berbagai daerah. Yang dipimpin “raja-raja baru”. Semua orang berteriak ketika “kegilaan” makin menjadi. Teriakan agar hukum tegak dengan sebenarnya dikumandangkan.

Para kucing didesak untuk segera membasmi tikus hingga ke cicit-cicitnya. Hasilnya, kesadaran mulai muncul. Nurani kucing mulai tumbuh. Nyali mereka untuk memerangi tikus kian membuncah. Mereka bergerak dengan gesit dibantu segenap komponen bansa. Hasilnya, tikus-tikus kantor banyak yang masuk teralis. Namun ternyata, seperti syair Iwan Fals, tikus-tikus ini sangatlah lincah. Pengamanan di penjara bisa mereka tembus dengan memanfaatkan para sipir yang bermental maling. Lebih gila lagi, para kucing yang diharapkan memberantas tikus, banyak juga yang tergoda untuk menjadi tikus juga.

Kitapun bingung siapa tikus dan siapa kucing. Kucing ternyata sudah pinter mencicit dan tikus-tikus sudah lama belajar bagaimana mengeong dengan baik untuk mengelabui semua orang.

Saking kecewanya kita protes pada Tuhan, kenapa sih Engkau harus menciptakan Tikus dan kucing di muka bumi? Tak ada jawaban. Namun pengetahuna kita mengajarkan bahwa segala sesuatu harus berpasang-pasangan. Siang-malam, hidup-mati, pria-wanita, tikus-kucing; begitulah Tuhan mencitakan keseimbangan. Tetapi manusia dengan akalnya menciptakan keseimbangan baru, tak selamanya kucing harus bermusuhan dengan tikus. Sesekali, bolehlah tikus memiliki karakter seperti kucing atau kucing tak masalah bermental tikus.

Tinggal kita saja yang memilih mau jadi tikus atau kucing? Mau jadi tikus bermental kucing atau kucing bermental tikus? Semua sudah disajikan Tuhan dalam hidangan dunia. Hari ini anda memilih berkarakter kucing, namun siapa yang bisa menduga suatu hari nanti dirimu bermental tikus.

Moga Tuhan tak menjadikan kita manusia kucing bermental tikus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun