Namun demikian, lukisan Yos Suprapto sudah keder bahkan dibenci oleh pihak tertentu sekadar menunjukkan bahwa eksistensi yang pernah berkuasa dan masih ada antek-anteknya masih kuat pengaruhnya. Seni lukis saja sudah dianggap mengganggu posisi dan bagaimana jika bentuk gerakan yang lain? Saya hanya geleng-geleng.
Kita kembali lagi. Semuanya berpulang pada cara pandang. Jadi, lukisan Yos Suprapto tidak bisa direduksi oleh politik. Ia akan bergerak dari satu bentuk ke bentuk seni lukis lainnya.Â
Toh, sangat kontras antara seni politik dan seni lukis. Cuma sama-sama pakai kosa kata seni. Itu saja.
Logika Fadli Zon mungkin dibayangi oleh semacam mekanisme pertahanan diri. Daripada dia terancam posisinya karena membiarkan lukisan Yos Suprapto bebas bergentanyangan untuk membuka "topeng" dan "borok" Jokowi dan aparat lainnya, mending bagaimana mencari alasan pembenaran untuk membredel pameran lukisan Yos Suprapto. Titik.Â
Ternyata, sebuah lukisan akan berpotensi menggegerkan "istana."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI