Saya lihat, bergantung dari posisi mana dia menilai lukisan Yos Suprapto. Apakah seorang pejabat menganggap dirinya tidak nyaman, wah, lukisan itu tidak enak karena menyerang oknum pejabat atau mantan pejabat negara. Apakah juga lukisan dianggap murahan nilai seninya lantaran tampilannya begitu norak, vulgar atau merangsang hasrat berahi. Karena lukisan punya logika tersendiri, maka ia tidak bisa dikungkung dalam kebebasan berekspresi.Â
Nah, alasan pejabat bahwa kebebasan itu ditengahi oleh kebebasan yang lain malah seni lukislah yang aman dari alat campur tangan kuasa, yang memanfaatkan hak kebebasan sebagai pembenaran tindakannya.
Aalaa, sekelas pak Menteri Fadli Zon masak tidak paham soal seni lukis? Begitu batinku berbicara.Â
Kesempatan baik ini perlu dimanfaatkan oleh pak Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Yang namanya pahit getirnya zaman kuasa otoriter semestinya pak Menteri Kebudayaan yang lebih paham.
***
Tidak terasa, sehari baru saja lewat. Di grup WhatsApp saya, mencuat berita seputar pelukis Yos Suprapto, yang beberapa hari lalu ramai di media sosial.Â
Saya tidak menyangka jika teman di grup WA memunculkan lagi semacam "prahara kebudayaan" di zaman kebebasan berekspresi di negeri kita.
Terlepas bahwa kebebasan itu jadi kebablasan, yang jelas lukisan sebagai karya seni seakan tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Ungkapan ini mungkin agak berlebihan, tetapi itulah faktanya. Negeri kita banyak melahirkan seniman hebat, diantaranya pelukis Yos Suprapto.Â
Tetapi, apa jadinya jika pemegang otoritas "membonsai" kreatifitas seni bahkan membredel pameran lukisan, yang digelar di Galeri Nasional. Lelaki gagah dan perkasa sama saja menteri yang jadi kewenangannya untuk ngatur-ngatur. Ya sudah sana, pameran lukisan Yos Suprapto di sini tidak laku, kecuali ekspresi takut kehilangan kuasa atau posisi terhormat.
Makanya, publik atau netizen layak saja bertanya-tanya, kenapa ada menteri yang gitu-gitu nggak dipakai habis keperkasaannya yang blunder dan sok paling benar di zaman ini?Â
Selalu cuma alasan saja demi menjaga budaya malu dari hal-hal yang merusak moral bangsa. Muncul satu atau lebih alasan penolakan. Kenapa? Ah, ada saja alasan.