Mengapa tidak bisa ada “sang Aku” yang nyata dimana jumlahnya sebanyak “sang Lain?” Mengapa “Aku” tidak bisa eksis di tangan “sang Lain?” Mengapa hanya ada satu dunia nyata?
“Aku” tidak mengungkapkan dan tidak bisa pula dipikirkan, kecuali mungkin seperti menjadi sel kanker yang membahayakan. “Aku” harus menyingkir darinya, mirip asap terbang jauh melewati batas-batasnya.
Tidak hanya kemiripan gambar atau tidak hanya “Aku” yang bisa mengimajinasikan dan menyimbolkan yang nyata, melainkan juga memertajam gambar yang hampir hilang dari “Ada di dalam Dunia,” menjalin dan memperedarkan yang lain.
Karena itu, “Aku” sendiri adalah yang nyata. “Aku” tidak bisa mengimpikan tentang realitas selama masih berada dalam realitas kesadaran. Seluruh sisi fenomenologi-ontologi tersapu oleh badai eksistensi transendentalnya, terbalik dari keadaan dimana subyek bukan lagi sebagai pemilik realitas dan gambarannya.
Sebagaimana “Aku” laksana menjadi cermin memantulkan sesuatu padamu, “pantulanmu datang dariku,” tanpa bayangan apa-apa.
Setelah terjadi ketidakhadiran subyek/pusat/nalar, maka obyeklah yang membiaskan citra subyek dan menemukan titik kehadiran “Aku” sebagai sesuatu “yang berbeda” dengan bentuk penampilan luar. Orang bukan lagi “sang Lain.” “Aku” berada diantara subyek dan obyek. Kekuatan obyeklah yang semakin memperjelas posisi “Aku” sekaligus mengingatkan kita akan adanya subyek yang terselubung bahkan sebuah topeng filsuf nyata dari wujud virtual. Sementara, “Aku yang palsu” tidak lebih sebagai korban persembahan dari “mitos ego-otentik” dalam dunia.
Seseorang mendatangi sebuah cermin asli dan melihat dirinya seperti “apa adanya,” bukan “ada apa-apanya.” “Aku” yang mewaktu telah keluar dari garis orbit subyeknya, terlepas dari lingkaran realitas kesadarannya, yang terombang-ambing dengan cara meletakkan obyek murni di luar “Aku” yang nyata.
Sejauh ini, ego-otentik menjadi tempat berkembangbiaknya segala sesuatu daur ulang dan kedalaman yang kosong: kesadaran dan gairah beragama di tengah ritual kematian makna dari realitas.
Di cakrawala yang mulai tenggelam dalam realitas, kita bukan hanya tidak melihat “Sang Lain” (tanda-tanda Ilahi), tetapi juga melihat diri kita sendiri menghilang dari sudut pandang ego Cartesian, yaitu manusia sebagai sosok yang berpikir, misterius sekaligus sosok meragukan. Kita muncul dan menghilang dalam kesadaran (Ilahi, pikiran, persaudaraan atau kasih sayang). Bukan obyek dari yang subyek, tetapi dari subyek yang bukan subyek, dan dari obyek yang bukan obyek.
Sudut pandang tentang “Aku apa adanya” nampak pada pantulan wajahku dari “Aku” itu sendiri, tanpa cermin apalagi tanpa bayangan justeru merupakan bagian yang paling rahasia, dapat eksis untuk “Sang Lain.”
“Aku” tidak eksis, kecuali segalanya adalah tiruan datang dari “Sang Lain” (bersedekah, menolong, mencintai, membenci, berkuasa, bertahta, mendamaikan, atau mengetahui). “Aku sendiri” mengungkapkan dirinya melalui “Aku di sini,” kecuali sekecil apapun rahasiaku telah menghilang, tidak terlacak atau tidak tergambar hingga ditelan waktu lebih cepat melesat meninggalkan kita dibandingkan citra artifisial yang disenangi oleh "sang Lain" (manusia).